
Keringat menetes deras di pelipis Sungkono, petani palawija berusia 60 tahun di Dusun 5, Desa Pulau Semambu, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tangan kapalnya yang legam terbakar matahari tampak cekatan menyalakan pompa air.
Raungan mesin diesel yang dulu jadi sahabat sekaligus beban di ladang kini tak terdengar lagi. Sebagai gantinya, suara lirih air memancar dari irigasi sprinkler.
Semprotan itu membasahi kebun kangkung darat yang baru disemai. Sebagian tanaman bahkan sudah menghijau.
“Dulu kami keluar ongkos besar buat solar. Sekarang matahari yang jadi penyelamat,” ujarnya sambil menatap tanaman yang segar, pada Selasa, 23 September 2025 lalu.
Sebelum ada listrik tenaga surya, setiap musim kemarau jadi musim resah. Mesin diesel jadi penentu hidup-mati tanaman.
Setiap harinya, Sungkono harus menyiapkan 2-3 liter solar agar pompa bisa menyedot air dari rawa dan mengalirkannya ke ladang.
“Kalau dihitung, sebulan bisa habis Rp500 ribu,” kenangnya. Itu belum termasuk biaya perbaikan, karena mesin mudah macet oleh oli kotor atau piston aus.
“Kadang sedang butuh air, mesin mogok. Tanaman sempat kering sampai daunnya gosong. Panen bisa gagal,” tambahnya dengan wajah berkerut, seakan masih menyimpan getir.
Situasi ini berlangsung bertahun-tahun, hingga 2023 datang perubahan. Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Selatan bersama Pertamina New & Renewable Energy (NRE) membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal.
Sejak itu, petani tak lagi menggantungkan hidup pada solar. Lahan yang dulu ditinggalkan saat kemarau kini tetap produktif. PLTS ini menggunakan panel surya berkapasitas 6,54 kWp dengan teknologi penyimpanan energi baterai lithium sebesar 10 kWh.
Program ini menggunakan listrik dari panel surya untuk menggerakkan pompa air, yang berfungsi mengairi lahan pertanian, terutama saat musim kemarau. Solusi ini membantu mengatasi masalah kekeringan yang sebelumnya sering dialami petani di desa tersebut, sekaligus menjaga produktivitas lahan sepanjang tahun.
Meskipun PLTS komunal ini meningkatkan produktivitas, beberapa tantangan tetap ada, seperti kebutuhan perawatan rutin panel dan baterai lithium, risiko biaya penggantian perangkat, serta potensi penurunan output saat musim hujan ekstrem atau awan tebal yang berkepanjangan.
“Kami maunya perawatan PLTS ini juga rutin disosialisasikan, supaya fungsinya tidak menurun dimakan usia,” kata Sungkono.

Desa di Atas Gambut
Pulau Semambu, desa di Kecamatan Indralaya Utara, membentang di atas lahan seluas sekitar 1.200 hektar. Wilayah ini dihuni oleh 2.159 jiwa atau sekitar 513 kepala keluarga (KK).
Desa ini unik karena berdiri di atas hamparan rawa gambut yang subur, dengan kondisi tanah yang didominasi lahan kering dan lahan basah bergambut berkelembaban tinggi.
Namun, kesuburan itu datang bersama tantangan. Saat musim hujan, air melimpah hingga membuat jalan desa becek dan sulit dilalui. Begitu kemarau, tanah retak-retak, sumur mengering, dan warga kesulitan mendapatkan air. Penduduk menyebutnya sebagai “tanah dua wajah”, basah berlebihan atau kering kerontang.
Bagi petani, beban terbesar ada pada ongkos bahan bakar.
“Rata-rata petani habiskan Rp1-1,5 juta per musim tanam hanya untuk solar. Itu belum termasuk perawatan mesin. Kalau harga sayur mayur turun, hasil panen bisa habis hanya buat biaya operasional,” kata Jhon Kuripan, Sekretaris Desa Pulau Semambu. Tak heran jika banyak lahan akhirnya dibiarkan tidur.
“Sayang sekali. Padahal tanahnya subur,” tambah Jhon.
Jhon mengingat betul bagaimana RT 10 di Kampung 6 dulu menjadi titik paling berat menghadapi krisis air bersih. Warga harus menimba sumur dengan tenaga manual atau menyewa pompa diesel.
Kini, berkat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), sumur bor di kampung itu dialiri listrik tenaga surya. Air mengalir ke 20 rumah warga tanpa biaya tambahan, memungkinkan ibu-ibu mengisi ember dengan mudah dan anak-anak belajar malam hari dengan lampu terang.

Dampak PLTS pun terlihat pada hasil panen. Menurut Jhon, sebelum hadirnya PLTS, rata-rata hasil panen padi hanya 5 ton per tahun. Setelah implementasi PLTS pada 2023, hasil panen meningkat menjadi 10 ton per tahun, menunjukkan produktivitas petani meningkat dua kali lipat.
“Dengan listrik dan air mengalir, panen kami pun meningkat,” tutur Jhon.
PLTS juga memberi nafas baru bagi Kelompok Tani (Poktan) yang dipimpin Purnadi. Ada 10 petani tergabung di sana, dengan lahan garapan sekitar 2 hektare. Mereka menanam kangkung, cabai, jagung, hingga sayuran lain.
Kini lahan yang dulu hanya ditanami sekali setahun bisa ditanami lebih intensif.
“Airnya stabil, jadi hasil panen juga lebih terjamin,” kata Purnadi.
Kebun yang Tak Lagi Tidur
Yutina, 55 tahun, juga merasakan langsung manfaatnya. Dulu lahannya gersang saat kemarau, tanah gambut kering dan pecah. Kini irigasi sprinkler selalu membasahi kebunnya, menjaga kelembaban yang stabil. Intensitas tanam meningkat dari sekali menjadi tiga hingga empat kali setahun.
“Kalau dihitung, satu musim bisa tambah Rp1-2 juta per petani. Itu besar bagi kami,” ujarnya sambil menggikat kangkung di tepi lahan.
Mas Mitra, petani lain, menambahkan bahwa pola tanam mereka kini lebih beragam.
“Dulu hanya cabe atau jagung. Sekarang bisa tambah kangkung, bayam, hingga kacang panjang. Kalau satu gagal, masih ada yang lain,” katanya.
Strategi ini membuat mereka lebih tahan terhadap fluktuasi harga pasar.

Air Bersih Mengalir ke Rumah
Manfaat PLTS tidak berhenti di kebun. Puluhan rumah tangga yang dulu membeli air galon kini menyalakan keran sendiri. Anak-anak tidak lagi membawa jeriken ke sekolah. SD Negeri 08 Indralaya Utara, dengan 220 siswa, kini punya suplai air bersih.
“Sekarang kami lebih fokus belajar. Guru juga terbantu,” ujar Putri, siswi SD.
Ibu rumah tangga pun lega. Isminem, ibu dua anak, mengaku dulu berjalan hampir satu kilometer untuk mengambil air.
“Sekarang cukup putar keran. Waktu lebih banyak untuk keluarga, bisa bantu suami berkebun palawija,” katanya.
Miskia Wati, ibu rumah tangga lainnya turut menimpali, “Dulu repot sekali bawa ember jauh-jauh. Sekarang waktunya bisa dipakai bantu anak belajar atau ikut merawat kebun.”
Di lain tempat, Ir. Zulkifli Saleh, M.Eng, akademisi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang, menilai apa yang dilakukan Pertamina lewat program Desa Energi Berdikari (DEB) di Pulau Semambu bisa jadi contoh nyata transisi energi di tingkat akar rumput.
“Indonesia menargetkan 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Saat ini baru kisaran 14 persen. Desa seperti ini memberi bukti praktik yang bisa direplikasi,” jelasnya.
Menurut Zul, perusahaan lain bisa mencontoh Pertamina dengan menjalankan program serupa, khususnya di desa-desa terpencil Sumsel. Tentu dengan menyesuaikan potensi lokal.
“Kalau di daerah pergunungan, banyak sumber air, bisa PLTMH. Kalau tidak ada, bisa PLTS seperti di Semambu ini,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengingatkan pentingnya keberlanjutan. “Program energi bersih tidak cukup hanya membangun, tapi juga memastikan ada perawatan, pendampingan, dan pemberdayaan warga agar manfaatnya terasa jangka panjang,” katanya.
Zul juga menekankan, peran pemerintah daerah sangat penting untuk mendorong inisiatif semacam ini. Menurutnya, keterlibatan masyarakat harus menjadi inti, agar energi bisa dirasakan secara adil oleh semua kalangan, terutama masyarakat di desa-desa terpencil.

Laboratorium sosial
Bagi Pertamina, Pulau Semambu bukan sekadar desa penerima bantuan, melainkan semacam laboratorium sosial.
Arif Mulizar, Governance Relations Pertamina NRE, menjelaskan bahwa DEB adalah program pemberdayaan desa berbasis energi terbarukan (EBT) yang bertujuan menciptakan kemandirian energi sekaligus mendorong kemandirian ekonomi-sosial. Caranya melalui instalasi pembangkit terbarukan yang dipadukan dengan program pendampingan, seperti pelatihan, pengembangan usaha produktif, dan pengelolaan lingkungan.
“Di Pulau Semambu misalnya, PLTS tidak hanya dipakai untuk listrik rumah tangga, tapi juga mendukung irigasi pertanian, pengolahan hasil, peternakan, bahkan usaha kecil. Dengan begitu desa benar-benar berdaya,” katanya.
Menurut Arif, DEB juga dimaknai sebagai laboratorium sosial-ekonomi lokal.
“Kami memang memosisikan DEB sebagai ajang uji coba skala desa: pertama, uji teknologi tepat guna; kedua, model pemberdayaan melalui local heroes dan kelompok usaha; ketiga, tata kelola aset bersama. Karena itu istilah ‘laboratorium sosial’ sangat tepat, sebab dari sini lahir pembelajaran yang bisa direplikasi ke desa lain,” tambahnya.
Program ini kini berkembang pesat. Secara nasional, lebih dari 200 desa telah bergabung dalam skema DEB dengan berbagai teknologi sesuai potensi lokal, mulai dari PLTS yang fleksibel, PLTMH untuk desa di bantaran sungai, hingga biogas di kawasan kaya biomassa.
Di Sumatera Selatan, Pertamina baru saja meresmikan sejumlah DEB pada Agustus 2025, antara lain di Desa Singapura (Lahat), Dusun Rantau Dedap (Muara Enim), dan Desa Sungai Gerong (Banyuasin), yang memadukan PLTS dan PLTMH untuk melayani ratusan jiwa di tiap lokasi.
Arif menegaskan, program ini akan terus diperluas. Selain mendukung target transisi energi dan penurunan emisi, DEB terbukti menghadirkan dampak sosial-ekonomi yang nyata.
“Kami memandang DEB bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan program transformasi: energi menjadi usaha, usaha menjadi kesejahteraan. Pendekatan teknologi terpilih, pelatihan local heroes, dan model ekonomi lokal adalah kunci agar DEB tahan lama dan bisa direplikasi lebih luas,” ujarnya
Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel, Rusminto Wahyudi, dikutip dari Insight weekly edisi 116, menyebut program di Desa Pulau Semambu ini bukan sekadar penyediaan listrik bersih.
“Melalui program DEB dan Sinergi Semambu ini, Pertamina berperan aktif sebagai fasilitator dalam pengembangan teknologi irigasi modern, penyediaan infrastruktur seperti panel surya dan sistem SWIS, memfasilitasi pelatihan keterampilan dan transfer knowledge untuk meningkatkan kapasitas petani lokal, serta pendampingan teknis berkelanjutan kepada masyarakat,” katanya.

Desa Rawan Kebakaran
Pulau Semambu menyimpan kerentanan. Lahan gambut kering saat kemarau, mudah terbakar. Sekali api menyala, asap menutup langit berhari-hari, melumpuhkan aktivitas warga.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ogan Ilir mencatat hingga 21 September, terjadi 63 kali kebakaran dan lahan gambut yang hangus seluas 200 hektare.
Ogan Ilir bahkan ditetapkan sebagai zona merah Karhutla, dengan kebakaran besar melanda tiga kecamatan: Muara Kuang, Pemulutan, dan Indralaya Utara.
“Kecamatan Indralaya Utara menjadi wilayah paling rawan dengan 28 kejadian kebakaran, melahap 91 hektare lahan, paling tinggi dibandingkan daerah lain,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Ogan Ilir, Edi Rahmat, pertengahan Agustus 2025 lalu.
Pulau Semambu, yang berada di lingkaran Indralaya Utara, praktis menjadi salah satu titik rentan.
Sementara itu bertahun-tahun, mesin diesel menjadi kawan sekaligus lawan bagi warga desa ini. Suara menderu pompa menandai air mengalir ke kebun, menyelamatkan tanaman dari kekeringan.
Namun, pada saat yang sama, diesel itu menguras kelembaban gambut, memperbesar risiko kebakaran.
Musim kemarau bagi warga Pulau Semambu hampir selalu berarti hidup dalam cemas.
“Kehadiran panel surya membawa cerita baru bagi desa ini,” kata Sungkono.
Energi surya, lanjut Sungkono, bukan sekadar teknologi baru, tetapi sebagai penyelamat kebun dari kebakaran.

Rasa Lega Para Petani
Matahari pun mulai naik ke tengah ubun-ubun. Sungkono dan Jhon mulai beranjak dari ladang palawija itu. Mata mereka tak lepas memandang kangkung diterpa angin.
Di kejauhan, deretan panel surya berkilau ditimpa cahaya matahari. Ingatan Sungkono melayang pada masa-masa diesel rewel, lahan kering terancam kebakaran, dan panen gagal yang menghantui.
“Masa susah mendapatkan air sudah lewat,” katanya.
Kini, cahaya itu bukan lagi sekadar pantulan matahari. Bagi Sungkono, Jhon, Purnadi, Yutina, dan warga lain di Pulau Semambu, kilau panel-panel itu seperti harapan baru.
“Ada rasa lega saat melihat kebun tetap hijau, listrik tak lagi rewel, dan air terus mengalir.”
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar