
Di tengah puing dan timbunan kayu yang terseret banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menghadirkan pendekatan ilmiah yang jarang disorot: forensik kayu. Melalui Task Force Supporting Penanggulangan Bencana, BRIN melakukan kajian untuk menelusuri jenis, asal, hingga mekanisme pergerakan kayu yang terbawa bencana sebagai dasar memahami penyebab dan merumuskan mitigasi berbasis data.
Kajian ini dipimpin Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Forensik Kayu, Ratih Damayanti, yang juga menjabat Direktur Kebijakan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran. Tim turun langsung ke lokasi terdampak di Sumatra Utara sejak pertengahan Desember 2025.
Selain Ratih, tim forensik kayu BRIN terdiri dari Sudarmanto, Perekayasa Muda dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk BRIN. Kegiatan lapangan juga melibatkan Lutfi Hakim, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatra Utara, serta didampingi Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Kementerian Kehutanan, Xylarium Bogoriense, Pusat Pengembangan Hutan Berkelanjutan Kemenhut, dan Bareskrim Polri.
“Sebelum turun ke lapangan, kami sudah berkoordinasi dengan Bareskrim dan BPHL Medan,” ujar Ratih, Kamis (18/12).

Pengambilan data dilakukan di sejumlah lokasi dengan timbunan kayu signifikan akibat bencana. Lokasi tersebut meliputi Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan di DAS Garoga, Desa Muara Sibuntuon, Kecamatan Sibabangun, Kabupaten Tapanuli Tengah, serta Desa Tamiang, Aceh. Tim juga menjadwalkan survei lanjutan di Pantai Parkit, Sumatra Barat.
Di lapangan, tim mengambil sampel kayu dan tanah untuk mengidentifikasi jenis kayu serta menelusuri asalnya. Tim juga membuat plot pengamatan guna menghitung volume kayu yang terbawa banjir dan longsor secara kuantitatif.
“Kami menghitung berapa volume kayu yang ada, lalu memetakan persentase kayu yang berasal dari tebangan, tumbang alami, atau tercabut akibat longsor dan banjir,” jelas Ratih.
Identifikasi jenis kayu dilakukan melalui analisis struktur anatomi kayu, metode yang menjadi keahlian tim forensik kayu BRIN dan Xylarium Bogoriense. Untuk memperkuat hasil, pengujian lanjutan akan melibatkan Laboratorium Genetika Hutan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, yang tergabung dalam konsorsium WoodID Indonesia, menggunakan teknologi DNA dan DART TOFMS (Direct Analysis in Real Time–Time of Flight Mass Spectrometry).
Pendekatan multidisiplin ini memungkinkan identifikasi jenis dan asal kayu dilakukan dengan tingkat akurasi tinggi. Saat ini, seluruh sampel masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan awal. Data kuantitatif terkait volume dan klasifikasi kayu ditargetkan rampung dalam pekan ini, sementara hasil identifikasi jenis dan penelusuran asal kayu secara detail diperkirakan membutuhkan waktu sekitar satu bulan.
“Proses ini membutuhkan ketelitian karena setiap kesimpulan harus benar-benar didukung bukti ilmiah,” ujar Ratih.
Menurutnya, forensik kayu menjadi kunci untuk memahami keterkaitan antara kondisi hutan, aktivitas manusia, dan dampak bencana hidrometeorologi. Analisis ini akan menunjukkan apakah material kayu yang terbawa bencana lebih dominan berasal dari proses alami atau aktivitas manusia di hulu daerah aliran sungai.
Ratih menegaskan, apa pun hasil kajian nanti akan disampaikan secara objektif. “Pendekatan forensik tidak berangkat dari asumsi, tetapi dari bukti ilmiah. Itu prinsip utama kami,” katanya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID




Tinggalkan komentar