
Pemerintah mulai mengetatkan praktik pertambangan di kawasan hutan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menetapkan tarif denda administratif bagi pelanggaran kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan untuk komoditas strategis.
Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025, yang mengatur denda bagi pelanggaran pertambangan nikel, bauksit, timah, dan batubara. Kepmen tersebut ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 1 Desember 2025.
Aturan ini menjadi tindak lanjut dari Pasal 43A Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025, yang mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kehutanan. Pemerintah menegaskan, kebijakan ini ditujukan untuk menertibkan kawasan hutan dari aktivitas tambang ilegal maupun tambang berizin yang melanggar ketentuan.
Dalam Kepmen tersebut disebutkan bahwa penetapan denda didasarkan pada hasil kesepakatan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Kesepakatan ini merujuk pada surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus selaku Ketua Pelaksana Satgas PKH tertanggal 24 November 2025.
“Perhitungan penetapan denda administratif atas kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan dalam keputusan ini didasarkan pada hasil kesepakatan rapat Satgas PKH,” bunyi salah satu ketentuan Kepmen yang dikutip Rabu (10/12).
Besaran denda administratif ditetapkan berbeda untuk setiap komoditas. Nikel menjadi komoditas dengan sanksi tertinggi, yakni Rp6,5 miliar per hektare. Sementara bauksit dikenakan denda Rp1,7 miliar per hektare, timah Rp1,2 miliar per hektare, dan batubara Rp354 juta per hektare.
Seluruh denda akan ditagih oleh Satgas PKH dan dicatat sebagai PNBP sektor energi dan sumber daya mineral. Kepmen ini berlaku sejak ditetapkan dan menjadi dasar penindakan atas pelanggaran pertambangan di kawasan hutan.
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah tidak akan ragu menindak pelanggaran kaidah pertambangan, terutama jika aktivitas tersebut berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Pernyataan itu disampaikan saat Bahlil mengunjungi korban bencana hidrometeorologi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada Rabu (3/12).
“Kalau dalam evaluasi ditemukan melanggar dan tidak tertib, kami tidak segan-segan melakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku. Bahkan pencabutan izin,” ujar Bahlil.
Dengan diberlakukannya aturan ini, pemerintah berharap penegakan hukum di kawasan hutan semakin kuat, sekaligus menjadi instrumen pencegahan kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan yang tidak sesuai ketentuan.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID





Tinggalkan komentar