
Hujan deras yang mengguyur Pulau Sumatera selama berhari-hari pada akhir November hingga awal Desember 2025 berubah menjadi bencana besar. Banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah, menewaskan 1.090 jiwa per 21 Desember 2025 , membuat ratusan warga masih hilang, dan memaksa lebih dari 770.000 orang mengungsi dari rumah mereka.
Di tengah skala bencana yang masif tersebut, pemerintah Indonesia justru memilih menolak sejumlah tawaran bantuan internasional. Salah satunya adalah bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) yang sempat ditujukan untuk korban banjir di Medan, Sumatera Utara.
“Kami kembalikan kepada Uni Emirat Arab,” ujar Wali Kota Medan Rico Waas kepada wartawan, Kamis (18/12/2025). Menurutnya, keputusan itu diambil karena pemerintah pusat belum memutuskan untuk menerima bantuan dari pihak asing.
“Jadi kami kembalikan. Kami Kota Medan tidak menerima,” kata Rico, seperti diberitakan Kompas.com.
Ia menyebut pengembalian bantuan juga dilakukan setelah adanya teguran dari pemerintah pusat dan Gubernur Sumatera Utara. Keputusan itu, lanjut Rico, telah melalui koordinasi dengan BNPB, Kementerian Pertahanan, serta pihak terkait lainnya.
“Intinya memang kami sudah cek regulasi dan mekanismenya, dan bantuan ini tidak diterima,” ujarnya.
Sikap serupa sebelumnya disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Dalam sidang kabinet paripurna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025), Prabowo mengungkapkan bahwa banyak pemimpin negara menghubunginya untuk menawarkan bantuan kemanusiaan.
“Saya ditelepon banyak pimpinan, kepala negara yang ingin kirim bantuan. Saya bilang, ‘Terima kasih concern Anda, kami mampu.’ Indonesia mampu mengatasi ini,” ujar Prabowo.
Padahal, dampak bencana di Sumatera terbilang sangat besar. Kerusakan infrastruktur ditaksir mencapai lebih dari 3,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp51 triliun. Jalan, jembatan, sekolah, kawasan permukiman, hingga jaringan listrik dan komunikasi rusak parah. Sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bahkan sempat terisolasi selama berhari-hari.
Respons solidaritas datang cepat dari negara-negara Timur Tengah. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengirimkan telegram duka kepada Prabowo pada 1 Desember, disusul pesan serupa dari Raja Salman. UEA menyatakan kesiapan mengirimkan bantuan kemanusiaan, dengan Duta Besar UEA untuk Indonesia Abdulla Salem Al Dhaheri menegaskan negaranya siap mengirim tim dan logistik kapan pun Indonesia membuka diri.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Sultan Oman Haitham bin Tariq, hingga Presiden Iran Masoud Pezeshkian yang bahkan menawarkan pengiriman tim darurat. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang mewakili 57 negara mayoritas Muslim, turut menyerukan dukungan cepat bagi Indonesia.
Menurut laporan Middle East Monitor, tawaran tersebut mencerminkan kedekatan hubungan Indonesia dengan kawasan Timur Tengah, yang terjalin melalui agama, migrasi tenaga kerja, investasi, hingga kemitraan strategis.
Namun, pemerintah Indonesia merespons secara berbeda. Menteri Luar Negeri Sugiono pada 5 Desember menyatakan bahwa bantuan internasional belum diperlukan karena kapasitas nasional dinilai masih memadai. Pernyataan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sehari kemudian, dengan menegaskan bahwa pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri.
Sikap ini memunculkan tanda tanya di kalangan negara-negara sahabat. Di mata mereka, kebutuhan kemanusiaan dinilai sangat besar dan bantuan diberikan tanpa syarat politik. Direktur Desk Indonesia–MENA CELIOS Jakarta, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menilai negara-negara Timur Tengah bertindak atas dasar solidaritas dan kemanusiaan.
“Tawaran bantuan tersebut merupakan perwujudan keyakinan dan kemanusiaan bersama,” tulis Zulfikar dalam opininya di Middle East Monitor. Meski demikian, ia menilai penolakan Indonesia lebih mencerminkan perhitungan politik domestik. Namun, menurutnya, peristiwa ini tidak akan merusak hubungan jangka panjang Indonesia-Timur Tengah.
Di sisi lain, isu lingkungan disebut menjadi salah satu faktor sensitif di balik sikap pemerintah.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti JATAM dan Walhi, menyoroti tumpang tindih wilayah terdampak banjir dengan konsesi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan industri di daerah hulu.
Aktivitas deforestasi, degradasi daerah aliran sungai, dan erosi lereng dinilai memperparah dampak banjir dan longsor. Dalam konteks ini, kehadiran tim internasional, mulai dari ahli hidrologi hingga analis bencana dikhawatirkan membuka sorotan global terhadap tata kelola lingkungan di Indonesia.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID




Tinggalkan komentar