Potret banjir Sumatera. (Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Memasuki minggu kedua pemulihan pascabanjir besar di Sumatera, perhatian tak lagi hanya tertuju pada lumpur dan infrastruktur yang rusak. Di balik rumah roboh dan sawah terendam, DPR menaksir kerugian akibat bencana ini dapat melampaui Rp 200 triliun, angka yang mencerminkan skala kerusakan sekaligus panjangnya jalan pemulihan yang harus ditempuh.

Namun, kerugian akibat bencana tak berhenti pada hitungan material. Pakar Sosiologi Pedesaan IPB University, Dr. Ivanovich Agusta, mengingatkan adanya risiko dampak sosial yang berpotensi muncul di fase pascabencana, terutama terkait distribusi bantuan.

Menurut Ivanovich, konflik sosial dan kecemburuan dapat terjadi ketika data penerima manfaat tidak jelas, transparansi lemah, serta penyaluran bantuan tidak merata atau tidak tepat sasaran.

“Dalam situasi bencana, kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif. Bahkan ketidaksetaraan kecil pun dapat memicu kecemburuan sosial,” kata Ivanovich, dikutip dari laman IPB University, Jumat (12/12/2025).

Ia menilai, peran pemimpin lokal pun bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi penting untuk koordinasi, namun di sisi lain bisa dipersepsikan negatif jika masyarakat mencurigai adanya favoritisme terhadap kelompok tertentu.

Meski bencana kerap memunculkan solidaritas di fase awal, kondisi itu tidak selalu bertahan lama.

“Kerja sama timbal balik cenderung sangat kuat selama fase awal, ketika warga saling membantu. Tetapi dalam jangka menengah, kelelahan kolektif dan ketidakpastian dalam pemulihan dapat mengikis solidaritas,” ujarnya.

Bencana Mengganggu Sistem Sosial Desa

Ivanovich menjelaskan, masyarakat pedesaan pascabencana menghadapi gangguan mendadak pada struktur sosial dan relasi antarwarga. Salah satu dampak paling nyata adalah hilangnya ruang-ruang komunal, seperti balai desa, tempat ibadah, pasar, hingga akses jalan.

“Ketika ruang-ruang ini hilang, ritme kehidupan desa terputus. Interaksi melemah, komunikasi terganggu, dan solidaritas sosial diuji,” jelasnya.

Tekanan psikososial juga meningkat, mulai dari rasa takut, trauma, hingga ketidakpastian masa depan. Kondisi ini berdampak pada menurunnya motivasi bekerja dan partisipasi sosial masyarakat.

Empat Kelompok Paling Rentan

Dalam situasi pascabencana, anak-anak, perempuan, lansia, dan petani menjadi kelompok yang paling rentan. Anak-anak berisiko kehilangan rasa aman dan akses pendidikan. Perempuan kerap menanggung beban ganda, mengurus kebutuhan keluarga sekaligus menjaga keselamatan anak-anak.

Lansia menghadapi keterbatasan mobilitas, penyakit bawaan, serta ketergantungan pada anggota keluarga.

Sementara itu, petani mengalami dampak jangka panjang paling berat akibat kerusakan lahan, hancurnya irigasi, hilangnya ternak, hingga terputusnya siklus produksi.

“Petani mengalami dampak jangka panjang yang paling parah. Kerentanan mereka bersifat ekologis dan sosial-ekonomi,” kata Ivanovich.

Ia menegaskan, kepercayaan publik terhadap pemerintah sangat ditentukan oleh kecepatan, ketepatan, dan transparansi penanganan bencana.

“Jika bantuan diberikan dengan cepat dan adil, kepercayaan akan menguat. Jika lambat dan tidak jelas, frustrasi dan apatis akan meningkat,” ujarnya.

Ivanovich menilai, pemulihan pascabencana tidak cukup hanya membangun fisik. Diperlukan pendekatan komprehensif, mulai dari penguatan dukungan psikososial, pengaktifan kembali lembaga sosial desa, pendataan yang transparan, pemulihan mata pencaharian, penguatan tata kelola desa, hingga pengembangan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tinggalkan komentar

Sedang Tren