PLTS Cirata (sumber: PLN Nusantara Renewables)

Jalan menuju net zero emission (NZE) 2060 atau bahkan lebih cepat, mulai dipetakan lebih jelas. Pemerintah menyiapkan strategi percepatan energi bersih dengan menempatkan energi surya sebagai tulang punggung transisi energi Indonesia.

Arah kebijakan tersebut disampaikan Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Senda Hurmuzan Kanam, dalam Indonesia–Spain Renewable Energy Seminar bertajuk “Collaboration on Smart Grid and Biomass for a Just Energy Transition” di Gedung B.J. Habibie, Jakarta, Kamis (11/12).

Senda menjelaskan, komitmen menuju NZE diwujudkan melalui pengembangan beragam sumber energi bersih, mulai dari energi surya, angin, hidro, biomassa, hidrogen, amonia, hingga nuklir. Strategi ini sejalan dengan agenda ekonomi hijau dan biru serta upaya memperkuat ketahanan energi nasional.

“Pemerintah berkomitmen mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berdaulat, termasuk melalui kemandirian energi,” ujar Senda.

Dalam proyeksi pemerintah, bauran energi terbarukan akan meningkat signifikan pada 2030, terutama dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Selanjutnya, pembangkit angin lepas pantai direncanakan mulai beroperasi pada 2037, sementara pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ditargetkan masuk sistem kelistrikan pada 2032.

Melalui rencana kelistrikan 2025–2035, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 42 gigawatt (GW) serta sistem penyimpanan energi 10 GW. Tambahan kapasitas tersebut akan didominasi PLTS, disusul pembangkit hidro, angin, dan nuklir.

Besarnya target itu ditopang potensi alam Indonesia. Menurut Senda, potensi energi terbarukan nasional mencapai sekitar 3.000 GW, dengan potensi surya diperkirakan mencapai 3.200 GW dan angin sekitar 155 GW.

“Dengan potensi ini, PLTS akan menjadi tulang punggung energi terbarukan di masa mendatang,” katanya.

Saat ini, pemerintah mengembangkan tiga skema utama PLTS, yakni PLTS atap, PLTS skala utilitas di lahan bekas tambang, serta PLTS terapung, seperti yang telah beroperasi di Waduk Cirata, Jawa Barat. PLTS terapung Cirata saat ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Di luar skala besar, pemerintah juga mendorong energi surya berbasis komunitas untuk mendukung sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Program tersebut antara lain diwujudkan melalui solar ice maker, solar water pump, hingga solar powering for tourism.

Pada saat yang sama, Indonesia mulai menyiapkan masa depan energi bersih melalui National Hydrogen and Ammonia Roadmap. Pada fase awal hingga 2030, fokus diarahkan pada kajian, proyek percontohan, dan penyusunan regulasi. Sementara pada periode 2045–2060, Indonesia ditargetkan menjadi pemain utama hidrogen dan amonia hijau di pasar global.

Untuk energi nuklir, pemerintah menargetkan pengembangan kapasitas hingga 44 GW pada 2060, yang terdiri atas 35 GW PLTN konvensional dan 9 GW untuk produksi hidrogen.

Senda menegaskan, transisi energi tidak bisa dijalankan oleh pemerintah semata. Kolaborasi lintas negara, termasuk dengan Spanyol, dinilai krusial, terutama dalam pengembangan smart grid dan bioenergi.

Smart grid adalah isu yang paling banyak dibahas di Indonesia. Kami bisa belajar dari Spanyol yang memiliki pengalaman panjang dalam integrasi energi terbarukan,” ujarnya.

Namun, menurut Senda, infrastruktur saja tidak cukup. Sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan transisi energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi semua pihak-pemerintah, industri, akademisi, hingga masyarakat,” pungkasnya.

***

Ahmad Supardi, SustainergID

Tinggalkan komentar

Sedang Tren