Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Di tengah duka banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Selatan menggelar diskusi publik bertema “Banjir Sumatera, Alarm Hak Asasi Manusia dan Ekologi” di Palembang, Selasa (10/12/2025).

Diskusi ini menjadi ruang refleksi bahwa bencana yang menewaskan 964 orang dan menghilangkan 264 orang itu bukan hanya tragedi lingkungan, tetapi juga persoalan hak asasi manusia (HAM). Acara yang menghadirkan mahasiswa, akademisi, aktivis, dan intelektual publik ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis yang menahun ikut memperdalam ketidakadilan sosial bagi korban di tiga provinsi terdampak.

Ripong, aktivis Serikat Petani Indonesia (SPI), membuka sesi dengan kritik tajam terhadap praktik industri ekstraktif.

“Bencana ini bukan fenomena alam semata. Ketika hutan dihancurkan, ekosistem runtuh dan masyarakat kecil kehilangan penopang hidup. Banjir bandang adalah pelanggaran hak hidup karena negara abai dalam mitigasi,” ujarnya.

Senada dengan itu, JJ Polong dari Spora Institute menyebut kerusakan lingkungan di Sumatera sebagai bentuk pelanggaran HAM. Ia mengingatkan bahwa sejak pasca-Perang Dunia II, dunia menyepakati hak setiap orang atas lingkungan yang aman dan sehat.

“Jika bencana terjadi karena kerusakan alam yang disengaja, itu adalah pelanggaran hak hidup manusia,” tegasnya.

Diskusi yang dipandu aktivis sosial Palembang, Asmaran Dani, juga menyoroti peran negara. Menurutnya, kelalaian pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi krisis ekologis turut memperburuk dampak banjir.

“Bukan hanya korporasi yang harus bertanggung jawab. Negara ikut menanggung beban kegagalan dalam menjaga keamanan warganya,” katanya.

Diskusi Hari HAM Internasional di Palembang, Selasa (10/12/2025). Foto: SHI.

Ketua SHI Sumsel, Husni, menambahkan bahwa peringatan Hari HAM Internasional harus menjadi pengingat kuat tentang kewajiban negara melindungi hak dasar manusia, termasuk hak atas lingkungan aman.

“Ketika negara abai, itu adalah bentuk kejahatan terhadap rakyatnya,” ujarnya.

Sejumlah peserta dari kalangan akademisi UIN Raden Fatah dan berbagai profesional, di antaranya Ferdi, Aldi, dan Dinda, sepakat bahwa krisis ekologis di Sumatera menuntut akuntabilitas korporasi dan penguatan kebijakan negara dalam melindungi hak hidup. Mereka menegaskan pentingnya menjamin hak atas lingkungan bersih, sehat, dan berkelanjutan, sesuai prinsip yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam semangat Hari HAM Internasional tahun ini, perlindungan terhadap alam dan manusia dipandang sebagai prioritas bersama, agar masa depan yang aman dan berkelanjutan tidak lagi sekadar harapan, melainkan komitmen yang diwujudkan.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tinggalkan komentar

Sedang Tren