Ahmad Supardi, Pegiat Komunikasi & Media di SustainergyID. Design: SustainergyID.

Korban banjir dan longsor di Sumatra kembali bertambah. Hingga Selasa, 9 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 964 orang meninggal, 264 orang hilang, dan sedikitnya 894.101 jiwa mengungsi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Angka ini bukan sekadar statistik bencana. Ia adalah potret telanjang dari kelalaian negara menjaga hutan dan daerah aliran sungai.

Banjir yang terjadi sejak 25 hingga 27 November itu bukan datang tiba-tiba. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut sedikitnya 13 perusahaan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan berkontribusi terhadap rusaknya hutan dan DAS di tiga provinsi tersebut.

Kerusakan yang berlangsung bertahun-tahun membuat daya tampung lingkungan runtuh. Ketika hujan lebat turun, air tak lagi tertahan, ia datang sebagai bencana.

Walhi mencatat 889.125 hektar hutan dan DAS di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah rusak. Di Sumatera Barat saja, terdapat 62 aktivitas tambang emas ilegal di Kabupaten Solok dan Sijunjung. Di Aceh, lebih dari 5.200 hektar hutan berubah menjadi perkebunan sawit. Ironisnya, sekitar 60 persen dari 954 DAS yang rusak di Aceh berada di dalam kawasan hutan, wilayah yang seharusnya paling ketat dilindungi negara.

Di sinilah masalah utama banjir Sumatra: penegakan hukum yang lumpuh.

Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Aktivitas ilegal berlangsung belasan tahun, namun dibiarkan. Negara hadir terlambat, setelah ratusan nyawa melayang dan hampir satu juta orang terusir dari rumahnya. Kepala Divisi Kampanye Walhi, Uli Artha Siagian, dengan gamblang menyebut pembiaran ini sebagai kegagalan aparat kehutanan dan penegak hukum. Jika pelanggaran ditindak sejak awal, bencana sebesar ini bisa dicegah.

Pemerintah memang mulai bergerak. Kementerian Kehutanan mengidentifikasi 12 subyek hukum terkait pembalakan di DAS Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, serta menyegel empat lokasi, termasuk di konsesi PT Toba Pulp Lestari. Kementerian Lingkungan Hidup juga memeriksa delapan perusahaan di DAS Batang Toru setelah citra satelit menunjukkan perubahan tutupan lahan yang signifikan. Namun langkah ini terasa seperti memadamkan api setelah rumah habis terbakar.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan justru dinilai membiarkan perkebunan sawit ilegal terus beroperasi di kawasan hutan. Ketika sanksi administratif, pidana, dan perdata tidak dijalankan secara konsisten, pelanggaran berubah menjadi kebiasaan. Dan masyarakatlah yang menanggung ongkosnya, dalam bentuk banjir, longsor, kehilangan rumah, bahkan nyawa.

Undang-Undang Kehutanan sebenarnya memberi kewenangan jelas kepada Menteri Kehutanan untuk memaksa perusahaan bertanggung jawab, termasuk membayar ganti rugi dan memulihkan hutan. Sayangnya, instrumen hukum ini jarang digunakan secara serius. Penegakan hukum berhenti pada penyegelan simbolik, bukan pemulihan ekosistem dan pemenuhan hak masyarakat.

Banjir Sumatra kembali menegaskan satu hal: krisis ekologis adalah krisis tata kelola. Selama hutan diperlakukan sebagai komoditas, DAS sebagai ruang ekspansi, dan hukum sebagai formalitas, bencana serupa akan terus berulang. Hujan mungkin tak bisa dicegah, tetapi kerusakan yang memperparah dampaknya jelas merupakan pilihan politik.

Jika negara tidak berani mencabut izin bermasalah, menindak tegas pelaku ilegal, dan memulihkan hutan secara sistematis, maka tragedi ini bukan yang terakhir. Sumatra akan terus dibanjiri, bukan hanya oleh air, tetapi oleh kegagalan kebijakan yang dibiarkan mengalir tanpa kendali.

***

Ahmad Supardi, Pegiat Komunikasi & Media di SustainergyID.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren