
Region Sumatera kembali kehilangan hutan alam dalam skala besar. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan hingga 2024, kawasan ini hanya menyisakan 12 juta hektare hutan alam, atau sekitar 25 persen dari total daratan. Angka itu terus menyusut, sekitar 2,1 juta hektare lenyap dalam tujuh tahun terakhir, setara 3,6 kali luas Pulau Bali.
Direktur Eksekutif FWI Mufti Ode mengatakan laju deforestasi sempat menurun, tetapi kembali merangkak naik dalam dua tahun terakhir.
“Pada 2023–2024 saja, Sumatera kehilangan sekitar 222 ribu hektare hutan alam. Itu setara 50 lapangan sepak bola hilang setiap jamnya,” ujarnya, dikutip dari Liputan6.com, Kamis (4/12/2025).
Tren Turun yang Kembali Berbalik Naik
Dalam grafik Rate of Deforestation in Sumatra Region, FWI mencatat deforestasi Sumatera mencapai 428.232 hektare pada 2017–2021. Angka itu turun drastis menjadi 96.660 hektare (2021–2022), lalu turun lagi menjadi 64.097 hektare (2022–2023).
Namun penurunan itu hanya sejenak. Pada periode 2023–2024, deforestasi melonjak tajam menjadi 222.360 hektare.
Pola serupa juga tampak pada tiga provinsi yang kini terdampak banjir besar Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Rata-rata deforestasi yang mencapai 139.941 hektare pada 2017–2021 sempat turun hingga 18.762 hektare pada 2022–2023. Tetapi pada 2023–2024 kembali naik menjadi 57.150 hektare.

Industri Ekstraktif
Ode menyebut sejumlah faktor yang mendorong kenaikan deforestasi dua tahun terakhir. Salah satunya industri ekstraktif seperti PBPH, tambang, dan sawit.
Namun yang menurutnya lebih mengkhawatirkan adalah makna deforestasi yang semakin dipersempit secara politis.
“Pemerintah selalu mereduksi makna deforestasi. Perdebatan definisi tak pernah selesai. Padahal deforestasi itu nyata dan kita menyaksikannya setiap hari,” katanya.
Ia juga menolak anggapan bahwa deforestasi perlu dibedakan antara yang terjadi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.
“Bencana tidak pernah bertanya itu kawasan hutan atau bukan,” ujarnya.
Ode menilai persoalan ini berakar dari sistem pengelolaan hutan warisan kolonial yang menganggap Indonesia seperti daratan besar.
“Hutan kita dikelola seakan berada di main island. Padahal Indonesia negara kepulauan dengan daratan yang terbatas. Kita butuh sistem pengelolaan yang lahir dari pengetahuan lokal,” jelasnya.
Versi Pemerintah: Deforestasi Nasional Justru Turun
Di hari yang sama, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan data berbeda saat Raker DPR. Ia menyebut deforestasi nasional menurun 23,01 persen, dari 216.216 hektare (2024) menjadi 166.450 hektare per September 2025.
Penurunan itu, katanya, juga terjadi di tiga provinsi terdampak banjir: Aceh turun 10,04% (11.228 menjadi 10.100 ha), Sumut turun 13,98% (7.141 menjadi 6.142 ha), Sumbar turun 14% (6.634 menjadi 5.705 ha).
Namun laporan Kemenhut juga menunjukkan perubahan besar tutupan lahan dari hutan menjadi non-hutan di wilayah banjir, yang berada di 31 Daerah Aliran Sungai (DAS).
Beberapa temuannya antara lain: Aceh perubahan tutupan lahan 21.476 hektare, dan 217.301 hektare masuk kategori lahan kritis (7,1%). Sumut perubahan tutupan lahan 9.424 hektare, dengan 207.482 hektare lahan kritis (14,7%). Sumbar perubahan tutupan lahan 1.821 hektare, dengan 39.816 hektare lahan kritis (7%).
Jangan Abaikan Hutan
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan belasungkawa atas banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Ia menekankan pentingnya menjaga hutan dan mencegah pembabatan pohon.
“Menjaga hutan-hutan kita… benar-benar mencegah perusakan,” kata Prabowo.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga sungai agar tetap bersih dan berfungsi menyalurkan air saat hujan ekstrem.
Prabowo menyebut bencana ini sebagai pengingat bahwa Indonesia berada di garis depan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Ia mendorong peningkatan kurikulum pendidikan tentang lingkungan.
“Perlu kita tambah dalam silabus pelajaran. Kesadaran menjaga lingkungan harus mulai dari sekolah,” ujarnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID





Tinggalkan komentar