
Dalam dua dekade terakhir, wacana Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tidak lagi sekadar diskusi teknis di ruang rapat. Ia sudah menjadi percakapan global yang mendesak, didorong oleh kualitas udara yang memburuk, krisis iklim yang kian terasa, dan cadangan energi fosil yang menipis.
EBT hadir bukan sebagai alternatif manis yang bisa ditunda, tetapi sebagai kebutuhan strategis untuk menjaga kesinambungan peradaban manusia. Agar perubahan ini benar-benar terjadi, kita membutuhkan sinergi: antara opini publik yang kuat, kebijakan negara yang progresif, dan kesadaran kolektif untuk bergerak menuju ekonomi energi yang lebih bersih dan tangguh.
Perubahan iklim telah melampaui status “isu”. Ia kini menjadi realitas sehari-hari: curah hujan yang tak menentu, suhu global yang terus memecahkan rekor, hingga bencana hidrometeorologi yang meningkat frekuensinya. Salah satu pemicunya adalah emisi karbon dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas.
Ilmu pengetahuan sudah tegas menunjukkan bahwa solusi untuk memperlambat pemanasan global harus mencakup percepatan pemanfaatan energi bersih, mulai dari surya, air, angin hingga biomassa. Bukti ilmiah sudah cukup. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian politik dan kemauan sosial untuk berubah.
Indonesia berada dalam posisi yang unik. Potensi EBT kita berlimpah, tapi belum sepenuhnya tergarap. Jhonson Parliatan dari PT Supreme Energy Rantau Dedap mengingatkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 40 persen potensi EBT dunia, termasuk panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Dengan paparan sinar matahari hampir sepanjang tahun dan bentang geologi yang kaya sumber panas bumi, EBT seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional. Namun kontribusinya masih tertinggal dibanding negara-negara lain seperti Brasil, Jepang, atau bahkan Vietnam. Ketergantungan pada energi fosil membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan risiko pasokan. Memperkuat pemanfaatan EBT bukan hanya soal lingkungan, ini soal kedaulatan energi.
Di banyak negara, EBT sudah terbukti kompetitif. Tantangannya bukan pada potensi, melainkan pada kesiapan ekosistem: transfer teknologi, penguatan industri dalam negeri, insentif yang menarik bagi investor, serta regulasi yang jelas dan konsisten. Pemerintah perlu menciptakan ruang yang aman dan pasti bagi investasi teknologi rendah karbon. Tanpa itu, transisi energi hanya akan menjadi jargon di atas kertas.
Di sisi lain, masyarakat juga memegang peran kunci. Perubahan gaya hidup, menghemat energi, menggunakan peralatan berdaya rendah, memasang panel surya atap, hingga beralih ke kendaraan listrik, dapat mendorong permintaan terhadap energi bersih.
Dukungan publik adalah fondasi bagi transformasi yang berkelanjutan. Karena itu, pendidikan lingkungan sejak dini menjadi investasi penting untuk membentuk generasi yang memahami keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi praktik hidup.
Ujungnya, isu energi bersih adalah persoalan moral dan keberlanjutan kehidupan. Kita memegang tanggung jawab untuk mewariskan bumi yang layak huni kepada generasi berikutnya. Setiap langkah kecil, berapa pun bentuknya, adalah investasi menuju masa depan yang lebih sehat, stabil, dan sejahtera.
Dunia bergerak cepat menuju era energi hijau. Dengan potensi besar yang dimilikinya, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Melalui kolaborasi lintas sektor, kebijakan yang visioner, dan komitmen jangka panjang, transisi menuju energi bersih bukan hanya mungkin, tetapi dapat menjadi peluang strategis untuk mendesain masa depan Indonesia yang lebih berdaya dan berkelanjutan.
***
Atika Suryanti, Mahasiswi program studi Agribisnis, Universitas Sriwijaya (Unsri). Ia adalah peserta Workshop Jurnalisme Lingkungan dan Energi Bersih yang diadakan Unsri, PT Supreme Energy Rantau Dedap dan SustainergyID.





Tinggalkan komentar