
Pemerintah Aceh menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari setelah banjir dan longsor melanda hampir seluruh kabupaten/kota di provinsi itu. Lebih dari 13 ribu warga mengungsi, sementara total 97 ribu jiwa terdampak sejak hujan ekstrem mengguyur Aceh hampir sepekan terakhir.
Penetapan darurat disampaikan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), usai rapat paripurna DPRA di Banda Aceh, Kamis, 27 November 2025.
“Saya menetapkan keadaan tanggap darurat bencana hidrometeorologi di Aceh,” katanya kepada media pada Kamis, 27 November 2025.
Pemerintah menyatakan bantuan darurat telah dikirimkan, tetapi kondisi lapangan disebut makin kompleks.
Jalan Putus, Listrik Padam, Jaringan Mati
Kantor SAR Banda Aceh melaporkan tim penyelamat kesulitan menembus sejumlah wilayah karena akses jalan terputus dan listrik padam lebih dari dua hari. Jaringan komunikasi di banyak titik juga mati sehingga laporan situasi tidak bisa dikirimkan secara berkala.
Akses menuju Aceh Utara lumpuh. Tim SAR yang dikirim ke daerah itu terpaksa berhenti di Pidie Jaya karena jalan tak bisa dilewati. Informasi yang masuk hingga Jumat dini hari menyebut sembilan orang meninggal akibat longsor di Aceh Tengah.
“Jaringan terputus, listrik padam, dan laporan warga masuk bersamaan. Penanganan harus diprioritaskan sesuai kondisi terparah,” kata Nadia, Humas Kantor SAR Banda Aceh.

Banjir Meluas di 16 Kabupaten/Kota
Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) per Kamis 27 November, pukul 16.00 WIB, menunjukkan 16 kabupaten/kota terendam. Total 119.988 jiwa terdampak, dan 20.759 jiwa mengungsi.
Aceh Timur menjadi wilayah terparah, 29.706 jiwa terdampak, 2.456 jiwa mengungsi. Tiga rumah rusak berat, satu rusak sedang, satu rusak ringan.
Air belum surut hingga laporan terakhir.
Pidie dan Bireuen juga masih tergenang dengan ketinggian 30–100 cm. Di Pidie, lebih dari 7.585 jiwa mengungsi. Bener Meriah mencatat satu orang hilang akibat banjir bandang.
Di Aceh Utara, banjir setinggi 30–80 cm memaksa 1.444 jiwa mengungsi.
Aceh Singkil terdampak parah akibat luapan Sungai Lae Cinedang: 25.827 jiwa.
Aceh Barat, Subulussalam, dan Gayo Lues masih terendam dan belum ada tanda-tanda surut.
BPBA menyebut penyebab utama: curah hujan tinggi, angin kencang, dan kondisi geologi labil. Delapan daerah telah menetapkan status darurat bencana hidrometeorologi.
Siklon Tropis Senyar dan Ulah Manusia
BMKG menyatakan hujan ekstrem di Aceh, Sumut, dan Sumbar dipicu Siklon Tropis Senyar, yang sebelumnya berupa Bibit Siklon 95B. Sistem ini membawa angin kencang, hujan intens, dan gelombang tinggi.
“Kami mengimbau pemerintah daerah meningkatkan kesiagaan dan masyarakat waspada potensi banjir, longsor, dan gelombang tinggi,” demikian pernyataan BMKG.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin (Om Sol), menilai banjir besar kali ini menunjukkan akumulasi kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama.
“Ini bencana ekologis. Hutan digunduli, bukit dikeruk, sungai didangkalkan. Pemerintah sibuk membangun tanggul, tapi tidak menghentikan kerusakan di hulu,” ujarnya.
Pemantauan WALHI menunjukkan kerusakan terbesar berada di DAS Krueng Peusangan, yang mempengaruhi wilayah hilir seperti Bireuen dan Aceh Utara. Aktivitas perkebunan sawit, tambang, dan PETI disebut memperburuk daya dukung kawasan.
Instruksi Pemerintah: Posko, Evakuasi, Logistik, Kaji Cepat
Surat Menteri Dalam Negeri meminta semua kepala daerah membuka posko siaga, mengevakuasi warga, menyiapkan logistik, membuka layanan kesehatan darurat, dan memperkuat koordinasi lintas lembaga.
BPBA mengimbau warga segera menuju tempat tinggi, mematikan listrik dan gas, serta memantau informasi resmi dari BMKG dan BPBD.
Hingga Jumat pagi, sebagian besar wilayah masih tergenang dan cuaca belum membaik. BPBA menyebut evaluasi dan pendataan kerusakan terus dilakukan, sementara upaya evakuasi masih terkendala akses dan cuaca.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID (Berbagai sumber)





Tinggalkan komentar