Banjir di Sibolga dan Tapanuli, Sumatera Utara banyak membawa kayu. Foto: Siaran Samarinda TV

Hujan deras di Sumatera bagian Utara. Air datang dengan sangat deras di malam ketika warga Desa Panggugunan, Parbotihan beristirahat.

Suara gemuruh kian membesar, lalu gelap menyapu rumah, jalan, dan segala jejak kehidupan di bawahnya.

Keesokan paginya, desa itu sudah tak jelas lagi, porak-poranda, pepohonan tumbang berserakan, dan rumah-rumah yang tersisa terisi lumpur setinggi dada.

“Warga di sana tidak bisa berkomunikasi… jaringan telepon mati total,” kata Hisar Turnip, staf Humas Kantor SAR Medan kepada media 26 November 2025.

Empat warga ditemukan meninggal, enam lainnya hilang, diduga terseret arus banjir bandang yang meluncur dari perbukitan gundul di atas desa.

Panggugunan bukan satu-satunya. Sejak Selasa malam, 25 November 2025, banjir dan longsor meluas dari Kota Sibolga hingga Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) lalu merembet ke Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Mandailing Natal. Seolah seluruh pantai barat Sumatera bagian utara diguncang bersamaan.

Peta daerah di Sumatera Utara yang kena dampak banjir. Sumber: Tirto

Garis Putus di Peta

Di Sibolga, jembatan Fransiskus patah persis di tengah bentang utamanya. Di Simpang Tukka-Sibuluan Baru, air setinggi lutut memaksa warga memikul anak dan barang berharga.

Di lereng Matauli, alat berat bekerja tanpa henti, mencoba membuka akses yang tertutup material longsor.

“Listrik padam. Komunikasi putus. Cuaca ekstrem menghambat pergerakan tim,” ujar Kepala Kantor SAR Nias, Putu Arga Sudjarwadi.

Di GOR Pandan, salah satu lokasi evakuasi, sekitar 200 warga duduk melingkar di atas tikar seadanya. Mereka baru sebagian kecil dari ribuan yang terdampak.

BPBD Sumatera Utara menyebutkan bantuan pangan dan obat-obatan belum bisa mencapai sejumlah desa. Jalan-jalan utama ke wilayah terdampak terputus, sebagian tertutup material longsor, sebagian lagi hilang terbawa air.

Hingga Rabu, 26 November 2025 pukul 22.00 WIB, 34 orang tercatat meninggal, 52 orang masih hilang, dan 1.168 warga mengungsi.

Polisi menyebut Tapanuli Tengah dan Selatan sebagai wilayah dengan dampak paling luas: puluhan titik longsor, banjir setinggi 1 meter, dan permukiman yang berubah menjadi daratan berlumpur.

Peta banjir dan tanah longsor di Sumatera Utara. Sumber: BNPB

Bukan Semata Hujan

Di Medan, Jaka Kelana Damanik memandangi citra satelit terbaru sambil menunjuk area yang berwarna abu-abu. Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut itu menyebut warna kelabu itu adalah hutan yang gundul.

“Saat banjir, banyak kayu ikut hanyut. Itu tanda paling nyata,” kata Jaka pada siaran pers-nya.

Menurut dia, bencana ini bukan hanya soal hujan yang turun berhari-hari.

“Ada campur tangan manusia. Ada perambahan, ada pembukaan lahan yang tak dikendalikan. Negara gagal mengelola lingkungan, sehingga krisis ekologis tinggal menunggu waktu.”

Di berbagai lokasi longsor, Walhi menemukan pola serupa: lereng gundul, tebing rapuh yang ditopang tanah pasir, dan jalur air yang menyempit karena pembangunan permukiman.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID/Berbagai sumber

Tinggalkan komentar

Sedang Tren