Perwakilan PT SERD, dosen Unsri, dan mahasiswa mengamati pamflet agribisnis yang dipamerkan dalam rangkaian Festival Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2025, Selasa, 25 November 2025. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Bagaimana kaitan panas bumi dengan masa depan agribisnis? Pertanyaan itu menjadi titik berangkat Festival Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2025 yang digagas Unsri dan PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD). Melalui kegiatan ini, mahasiswa diajak melihat lebih dekat hubungan energi bersih, khususnya panas bumi, dengan ekonomi desa dan agribisnis yang terus berubah.

Festival yang dibuka Selasa, 25 November 2025, menghadirkan kuliah umum, pameran proyek mahasiswa, workshop jurnalistik lingkungan, pelatihan pembuatan konten podcast energi bersih, dan kunjungan lapangan ke wilayah binaan perusahaan di Rantau Dedap, Muara Enim. Kegiatan berlangsung hingga 4 Desember.

Wakil Dekan Fakultas Pertanian Unsri, Prof. Susilawati, menyebut festival ini sebagai upaya memperluas pemahaman mahasiswa mengenai hubungan antara energi bersih dan sistem pertanian yang lebih efisien. Menurutnya, kedua sektor itu tidak lagi berdiri terpisah.

“Di banyak desa, masa depan pertanian sangat bergantung pada energi. Karena itu mahasiswa harus memahami dua sektor ini sebagai satu kesatuan,” kata Prof. Susilawati dalam sambutannya pada Selasa, 25 November 2025.

Ia menilai literasi energi bersih masih lemah di tingkat kampus. Padahal mahasiswa pertanian kelak akan banyak berhadapan dengan persoalan yang berkaitan dengan perubahan iklim, efisiensi produksi, dan keberlanjutan sumber daya.

Hazairiadi dan M Yamin sedang melakukan penialain poster karya mahasiswa. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Transisi Energi Masih Terganjal Persepsi Publik

Dalam kuliah umum, Hazairiadi, Site Support Superintendent SERD, menguraikan persoalan yang selama ini jarang muncul dalam forum akademik: resistensi masyarakat terhadap proyek energi panas bumi. Walau secara teknologi proyek telah berkembang, isu sosial tetap menjadi ujian paling berat.

“Tantangan utama kami bukan hanya teknis. Penerimaan masyarakat itu menentukan. Jika komunikasi tidak kuat, proyek apa pun bisa terhenti,” ujarnya.

Hazairiadi mencontohkan bagaimana pemanfaatan panas bumi dapat membantu aktivitas pertanian, mulai dari proses pengeringan produk hingga efisiensi usaha kecil di sekitar wilayah operasi. Namun banyak informasi itu tidak tersampaikan ke publik.

Associate Professor, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Unsri, M Yamin, mengatakan festival ini mencoba menutup jurang antara ide dan eksekusi. Menurutnya, mahasiswa selama ini menghasilkan banyak proyek pemberdayaan, tapi kurang mendapat ruang untuk dikontekstualisasikan dengan isu energi dan pembangunan berkelanjutan.

“Kami ingin mahasiswa belajar membaca ulang apa yang terjadi di desa, antara energi bersih panas bumi, kelompok tani, dan perubahan sosial. Banyak praktik baik di lapangan yang sebenarnya bisa menjadi rujukan,” kata Amin.

Beberapa proyek mahasiswa yang dipamerkan menyoroti perubahan pola budidaya, penguatan kelembagaan petani, hingga konten digital tentang energi bersih. mengamati sebagian besar karya dikembangkan dari proyek berbasis riset lapangan yang dilakukan mahasiswa di sejumlah desa binaan.

Untuk memberi gambaran lebih konkret, mahasiswa diajak mengikuti kunjungan lapangan ke Rantau Dedap pada 3-4 Desember nanti. Di sana mereka membuat podcast bersama petani, mendokumentasikan praktik pemberdayaan, dan mengikuti pelatihan penguatan kelompok tani.

Putri, salah satu peserta, menyebut festival ini mengubah cara pandangnya tentang hubungan energi dan ekonomi desa.

“Saya baru melihat bahwa panas bumi itu tidak berdiri sendiri. Ada petani, ada UMKM, ada desa. Energi bersih itu ikut membentuk kehidupan mereka,” ujarnya.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tinggalkan komentar

Sedang Tren