
Tren penurunan populasi hiu dan pari terus membayangi perairan Indonesia. Kondisi ini sejalan dengan situasi global: penangkapan berlebih, perubahan lingkungan, hingga rusaknya habitat membuat kedua kelompok ikan bertulang rawan ini semakin terdesak. Di banyak wilayah pesisir bahkan kota besar, hiu dan pari masih menjadi sumber protein yang paling terjangkau, sehingga tekanan pemanfaatan kian besar.
Dalam rangkaian Applied Zoology Summer School #13, Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) BRIN Andhika Prima Prasetyo menjelaskan kompleksitas permasalahan tersebut melalui pemaparan yang disiarkan kanal YouTube BRIN Indonesia, Sabtu (15/11). Ia membuka dengan menjelaskan klasifikasi kelompok ikan bertulang rawan: hiu, pari, skate, dan chimera—semuanya termasuk kelas Chondrichthyes.
“Uniknya, sirip termahal bukan berasal dari hiu, tetapi dari pari, terutama pari kikir dan pari kekeh,” ujar Andhika.
Ia menjelaskan perbedaan skate dan pari yang terletak pada reproduksi—pari melahirkan, skate bertelur. Sementara chimera atau “hiu hantu” jarang terlihat karena hidup di kedalaman. Perbedaan paling mendasar dari keempat kelompok itu terletak pada jumlah dan posisi insang: hiu di samping tubuh, pari di bagian bawah.
Namun, isu terbesar tetap sama: penangkapan berlebih di daerah tropis yang kaya spesies namun jumlah individunya rendah.
“Status kerentanan hiu dan pari secara global terus meningkat. Bahkan jenis ikan laut yang dideklarasikan punah berasal dari Indonesia, yaitu pari Jawa,” jelasnya.
Pemanfaatan hiu dan pari, lanjutnya, sangat beragam, mulai dari materi akuaria, bahan pengobatan, hingga komoditas makanan domestik. Tingginya kebutuhan ini membuat upaya pengendalian tidak mudah. Pemerintah dan masyarakat telah mendorong konservasi, pengelolaan perikanan, serta kawasan lindung. Namun mekanisme pembatasan perdagangan menjadi tantangan tersendiri.
“Volume perdagangan hiu dan pari besar, produk olahannya sangat beragam, identitas spesies sulit dikenali, anggaran terbatas, geografis Indonesia luas, dan volumenya sangat tinggi,” ujar Andhika.
Indonesia tercatat sebagai negara perdagangan hiu dan pari terbesar di dunia, disusul Spanyol dan India. Penangkapan hiu turun sejak 2000, tetapi angka penangkapan pari meningkat. Produk yang diperdagangkan pun beragam: sirip, daging, tulang, hingga kulit pari yang diolah menjadi dompet, sarung pedang, dan sepatu.
Zero waste menjadi pola umum pemanfaatan, semua bagian tubuh dimanfaatkan. Hong Kong menjadi tujuan utama ekspor sirip, sementara produk daging pari banyak dikirim ke Malaysia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Andhika menekankan pentingnya pendekatan genetik. Metode identifikasi DNA dapat membantu menentukan spesies, asal geografis, hingga mendukung penegakan hukum dalam perdagangan ilegal.
“Teknik molekuler berkembang pesat, mulai dari barcoding konvensional hingga DNA metabarcoding untuk mendeteksi jejak berupa shark-dust,” jelasnya.
Namun Indonesia masih menghadapi sejumlah hambatan: biaya reagen mahal, mesin sekuensing terbatas, volume pemeriksaan tinggi, serta kondisi iklim lembap yang memengaruhi stabilitas sampel. Karena itu, pemetaan genom dan penguatan reference database dianggap menjadi tahapan penting ke depan. “Teknik genetika hanyalah alat pelengkap, kita harus memahami batasannya,” tegas Andhika.
Kepala PRZT BRIN Delicia Yulita Rachman berharap kegiatan ini memperkuat kemampuan identifikasi spesies di Indonesia, khususnya untuk mendukung pengawasan dan penegakan hukum terkait eksploitasi satwa liar.
“Juga untuk memperdalam pemahaman tentang genetika dan konservasi demi melindungi sumber daya hayati di perairan nasional maupun internasional,” ujarnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID





Tinggalkan komentar