
Kota-kota di Indonesia terus tumbuh, menyerap jutaan manusia yang datang membawa harapan dan tantangan baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 mencatat, 56,7 persen penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035, artinya, dua dari tiga orang Indonesia akan hidup di kota.
Namun, di balik gemerlap lampu dan geliat ekonomi, proses urbanisasi membawa kompleksitas tersendiri bagi lingkungan dan masyarakat.
“Proses ini membawa dua sisi: peluang besar bagi kemajuan ekonomi dan inovasi, sekaligus risiko terhadap keberlanjutan ekologis dan sosial,” ujar Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN, Ali Yansyah Abdurrahim, dalam webinar “Urbanisasi di Indonesia: Dinamika dan Tantangan Keberlanjutan dan Daya Saing”, Rabu (5/11).
Menurut Ali, kota yang berkelanjutan bukan sekadar efisien dan produktif, tapi juga memiliki resiliensi sosial-ekologis, kemampuan untuk menyerap guncangan, beradaptasi terhadap perubahan, dan bertransformasi menuju tata kelola yang adil serta inklusif.
“Kerangka sosial-ekologis ini penting bagi Indonesia, di mana tekanan terhadap ruang kota meningkat akibat pertumbuhan penduduk, konversi lahan, dan perubahan iklim,” tambahnya.
Ia menekankan, kebijakan urbanisasi harus dilihat bukan hanya sebagai strategi ekonomi, tetapi juga sebagai upaya memperkuat ketahanan sosial dan menjamin kesejahteraan generasi mendatang. Bagi Ali, kolaborasi multi-aktor: peneliti, akademisi, perencana, dan masyarakat sipil, menjadi kunci agar transformasi kota berlangsung inklusif.
“Keseimbangan antara manusia dan ruang harus dijaga, agar kota tidak kehilangan fungsi ekologis dan sosialnya,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pengukuran dan Indikator Riset Teknologi dan Inovasi BRIN, Khairul Rizal, menyoroti pentingnya momentum global yang berkaitan dengan isu perkotaan.
“Bulan November ini bisa disebut bulannya perkotaan,” kata Khairul. Ia menyebut ada tiga peringatan penting: World Cities Day (31 Oktober), World Urbanism Day, dan World Planning Day (8 November).
Menurutnya, aglomerasi perkotaan tak hanya tentang kedekatan geografis atau berbagi infrastruktur, tetapi juga tentang ekosistem pengetahuan dan inovasi.
“Ketika pengetahuan bertemu dan berinteraksi, terjadi rekombinasi ide yang melahirkan inovasi baru,” jelasnya. Dengan kata lain, daya saing industri tak bisa dipisahkan dari konteks kota yang menopangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Tata Ruang, Perkotaan, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Bappenas, Dody Virgo Sinaga, memaparkan arah dan capaian awal dari Kebijakan Perkotaan Nasional 2045, yang diluncurkan pada September lalu.
Kebijakan ini menjadi pedoman baru bagi pengembangan kota berkelanjutan di Indonesia, dengan tujuan menata urbanisasi agar tidak hanya menumbuhkan ekonomi, tetapi juga memulihkan keseimbangan ekologis dan sosial.
Urbanisasi, dengan segala tantangannya, kini menuntut pendekatan baru: bukan lagi sekadar membangun gedung dan jalan, tetapi juga membangun daya tahan dan harmoni antara manusia dan ruang hidupnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID





Tinggalkan komentar