
Palembang menjadi tuan rumah Temu Profesi Tahunan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) pada 11–12 November 2025. Tema yang diangkat “Digitalisasi dan Transformasi Pertambangan Indonesia Menuju Ekonomi Hijau yang Berkelanjutan” terdengar visioner. Namun di balik jargon “hijau” dan “digital” itu, terselip pertanyaan yang lebih mendasar: seberapa sungguh sektor tambang mau berubah? Bisakah ekonomi hijau benar-benar tumbuh di atas dunia tambang?
Dalam forum ini, sejumlah tokoh lintas sektor mencoba memberi arah atas pertanyaan itu. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tri Winarno, dijadwalkan memaparkan kebijakan nasional dalam mendorong program pasca-tambang yang berkelanjutan. Isu yang kerap menjadi titik lemah praktik pertambangan di Indonesia. Dari sisi riset dan inovasi, Fauzan Adziman, Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendikbudristek, menyoroti peran riset dan teknologi dalam mendukung ekonomi hijau di sektor pertambangan.
Sementara dari dunia industri, Bagus Totok Purnomo, AVP Exploration PT Bukit Asam Tbk, memaparkan “Transformasi PTBA Menuju Green Mining Company: Inovasi dan Implementasi Nyata.” Adapun dari dunia akademik, Prof. Maulana Yusuf, Guru Besar Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, membawakan pandangan tentang pengelolaan lingkungan pertambangan yang berkelanjutan.
Nama-nama ini menunjukkan keseriusan lintas sektor untuk berbenah. Namun pertanyaannya tetap sama: apakah komitmen ini cukup kuat untuk menjawab persoalan lama yang terus berulang?
Kini, digitalisasi menjadi mantra baru di ruang-ruang konferensi industri. Setiap perusahaan bicara tentang big data, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Semua tampak futuristik, tetapi sering kali tak menyentuh akar persoalan: ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan lemahnya transparansi.
Di lapangan, tambang-tambang batubara masih kerap menjadi sumber konflik. Lubang-lubang bekas galian dibiarkan menganga, sungai mengalir keruh, dan desa-desa kehilangan sumber air bersih. Keluhan soal limbah fly ash dan bottom ash (FABA) pun terus bermunculan dari masyarakat sekitar tambang.
Kita tahu, sektor ini adalah salah satu penopang utama ekonomi nasional, penyumbang devisa, penggerak industri, dan motor pembangunan. Namun, di balik peran vital itu, ada kenyataan lain yang tak bisa diabaikan: banyak wilayah tambang justru menjadi episentrum kemiskinan ekologis. Lingkungan rusak, masyarakat tersisih, dan ruang hidup menyempit. Fakta ini tak lagi bisa ditutup- tutupi dengan retorika “inovasi digital” atau slogan “pertambangan hijau”.
Padahal, digitalisasi di pertambangan semestinya bukan sekadar alat efisiensi produksi atau pengawasan jarak jauh. Ia seharusnya menjadi instrumen transparansi dan akuntabilitas publik: membuka data operasi tambang, memantau emisi secara real-time, dan memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi.
Sayangnya, hingga kini, sistem informasi pertambangan masih dikunci rapat oleh korporasi dan sebagian pemerintah daerah.
Kita sedang berbicara tentang transformasi menuju ekonomi hijau, namun logika dasar industri masih berbasis ekstraksi. Batubara tetap menjadi primadona. Sementara itu, mineral “hijau” seperti nikel dan tembaga sering dijadikan simbol transisi energi, padahal proses penambangannya juga menyisakan jejak ekologis yang tak kecil.
Sebab itu, tema besar PERHAPI tahun ini patut diapresiasi, setidaknya ada kesadaran baru bahwa masa depan pertambangan tak bisa lagi berjalan di jalur lama, yang banyak diprotes itu. Tapi transformasi sejati tak akan lahir dari ruang seminar. Ia menuntut keberanian moral dan politik untuk menata ulang orientasi pembangunan: dari menambang sebanyak-banyaknya menjadi menambang secukupnya dan sebijaknya.
Digitalisasi hanyalah alat. Nilainya ditentukan oleh tangan yang mengoperasikannya. Bila hanya digunakan untuk mempercepat eksploitasi, maka digitalisasi hanyalah wajah baru dari keserakahan lama, hijau di permukaan, tapi tetap gelap di dasar lubang tambang.
Namun jika diarahkan dengan niat memperbaiki, teknologi bisa menjadi sekutu penting menuju pertambangan berkeadilan. Transparansi data, pemulihan lingkungan pasca-tambang, dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat bisa menjadikan “ekonomi hijau” bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang berakar.
Sudah saatnya para ahli tambang, pemerintah, dan pelaku industri melihat keberlanjutan bukan sebagai tren, melainkan tanggung jawab sejarah. Sebab teknologi tanpa etika hanya akan memperindah kehancuran.
Masa depan pertambangan Indonesia harus ditulis dengan bahasa baru, bahasa yang tidak hanya bicara produksi, tapi juga pemulihan; tidak hanya soal keuntungan, tapi juga keberlanjutan hidup di atas bumi yang sama.
***
Ahmad Supardi, Pegiat Komunikasi & Media di SustainergyID.





Tinggalkan komentar