Lokasi penambangan pasir ilegal di lereng Gunung Merapi (Foto: Dokumentasi RRI)

Suara mesin ekskavator meraung di antara kabut di lereng selatan Gunung Merapi, Sabtu siang itu (1/11). Di alur Sungai Batang, Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, aparat Bareskrim Polri menghentikan aktivitas alat berat yang tengah menggali pasir vulkanik. Tak jauh dari sana, terlihat bukaan tanah menganga luas di tengah kawasan hijau Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM).

“Kami melakukan kegiatan penegakan hukum, sekaligus tim gabungan bersama ESDM Jawa Tengah dan Taman Nasional Gunung Merapi. Ditemukan kegiatan penambangan ilegal,” kata Brigadir Jenderal Polisi Moh Irhamni, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, di lokasi.

Dari hasil pemetaan udara, lahan yang rusak akibat tambang liar itu mencapai 300 hektare. Padahal, kawasan konservasi Gunung Merapi yang menjadi tanggung jawab BTNGM hanya sekitar 6.000 hektare.

“Jadi, 5 persen kawasan konservasi sudah rusak akibat tambang ilegal,” ujar Irhamni.

Di lokasi, petugas mengamankan enam unit ekskavator dan satu dump truck yang masih beroperasi.

Jejaring Rapi di Balik Tambang Liar

Penyelidikan Polri menemukan tambang-tambang pasir itu beroperasi tidak sendirian. Ada jejaring bisnis yang tertata, melibatkan pemodal besar, pemilik depo, hingga jaringan distribusi yang memasok pasir ke proyek-proyek pembangunan di Jawa Tengah dan DIY.

Dari hasil penyidikan, ditemukan 36 titik tambang ilegal dan 39 depo penampungan yang tersebar di lima kecamatan: Srumbung, Salam, Muntilan, Mungkid, dan Sawangan.

“Jadi bukan kegiatan warga kecil semata,” kata Irhamni.

Polisi telah menetapkan tiga tersangka. Mereka adalah DA, pemilik depo pasir yang memperjualbelikan hasil tambang ilegal, serta WW dan AP, pemilik sekaligus pemodal kegiatan tambang di kawasan taman nasional.

“Dari temuan kami, tambang ini sudah berjalan 1,5 tahun, dengan nilai transaksi keuangan mencapai Rp48 miliar,” kata Irhamni.

Ia menambahkan, jika dihitung seluruh aktivitas tambang ilegal di wilayah Magelang dalam dua tahun terakhir, perputaran uang mencapai Rp3 triliun.

Angka yang fantastis untuk kegiatan yang menggerogoti jantung konservasi Jawa Tengah itu.

Hamparan tanah gundul akibat tambang ilegal. Foto: dok. Dinas ESDM Pemprov Jateng

Konservasi yang Terkoyak

Di lereng Merapi, Kepala BTNGM Muhammad Wahyudi menunjukkan hamparan tanah gundul yang dulunya menjadi habitat satwa liar. Vegetasi yang biasanya hijau kini berubah gersang.

“Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi adalah kawasan pelestarian alam. Harus kita jaga kelestariannya,” ujarnya.

“Namun kondisinya semakin rusak. Alasan penyediaan bahan baku tidak bisa menjadi pembenaran untuk mengambil sesuatu di kawasan yang dilarang ini.”

Wahyudi menegaskan, tidak ada izin tambang di dalam kawasan konservasi. Aktivitas semacam itu, katanya, tidak hanya merusak lanskap alam, tetapi juga mengganggu fungsi ekologi Merapi yang vital: menahan erosi, mengatur tata air, dan menjadi rumah bagi spesies endemik.

“Tidak ada pengambilan material vulkanik di dalam taman nasional,” tegasnya.

Langkah Tegas Pemerintah

Penindakan tambang ilegal ini dilakukan melalui operasi gabungan antara Bareskrim Polri, Kementerian Kehutanan, BTNGM, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Polresta Magelang, serta dukungan masyarakat sekitar.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebut operasi ini sebagai bentuk komitmen pemerintah menegakkan hukum di kawasan hutan. “Tidak ada sedikit pun ruang bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum di kawasan hutan,” ujarnya. “Semua yang ilegal kami tindak.”

Ia mengapresiasi kolaborasi lintas lembaga itu. “Perlindungan hutan bukan hanya tanggung jawab satu instansi. Ini kerja kolektif untuk menjaga masa depan lingkungan dan keselamatan masyarakat,” kata Raja Juli.

Pemerintah, kata Wahyudi, kini tengah menyiapkan program pemulihan ekosistem. Langkah awal dilakukan dengan penanaman kembali di Blok Sentong, Kecamatan Dukun, salah satu area yang terdampak parah.

“Pemulihan akan kami lakukan bertahap,” katanya. “Namun perlu waktu lama, karena kerusakannya cukup dalam.”

Pasir, Uang, dan Dilema Warga

Bagi masyarakat di kaki Merapi, pasir adalah sumber hidup. Material vulkanik yang melimpah usai letusan gunung menjadi komoditas utama bagi industri konstruksi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

“Orang sini banyak yang kerja di tambang, jadi sopir truk atau operator alat berat,” kata seorang warga Dusun Ngablak.

Namun, ketika tambang merambah ke wilayah konservasi, dilema pun muncul. Irhamni menegaskan, kegiatan tambang sah hanya bisa dilakukan di wilayah yang sesuai tata ruang dan memiliki izin lengkap. “Kalau di kawasan taman nasional, izinnya tidak mungkin dikeluarkan,” ujarnya.

Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, melalui tim lapangan yang ikut dalam operasi, menyebut pihaknya sudah berulang kali memperingatkan aktivitas tambang tanpa izin di Srumbung.

“Masalahnya, permintaan pasir Merapi terus meningkat,” katanya.

“Sementara pengawasan di lapangan lemah, dan banyak tambang yang diam-diam masuk wilayah konservasi.”

Menjaga Nafas Merapi

Gunung Merapi tak hanya menjadi simbol kekuatan alam, tapi juga penopang kehidupan ribuan orang di sekitarnya. Air yang mengalir dari lerengnya menghidupi sawah-sawah di Magelang dan Sleman. Hutan di punggungnya menahan longsor dan erosi.

Kini, ketika ratusan hektare kawasannya terkoyak oleh tambang, Merapi kembali menuntut perhatian.

“Tambang ilegal ini bukan sekadar pelanggaran hukum,” kata Irhamni. “Ia mencederai lingkungan yang menjadi sumber kehidupan.”

Di kaki gunung itu, suara alat berat memang telah berhenti. Tapi jejaknya masih tertinggal: parit-parit menganga, debu beterbangan, dan sisa pasir berserakan seperti memori kelam di tubuh Merapi.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tinggalkan komentar

Sedang Tren