Bentang Alam Seblat di Bengkulu, disahkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Koridor Gajah Sumatera. Foto: Chesa

Baca: Bentang Alam Seblat, Rumah yang Kembali untuk Gajah Sumatera – Bagian 1

Seekor gajah betina keluar perlahan dari balik semak, diikuti anaknya yang baru belajar menapaki tanah liat. Di sinilah, di jantung hutan yang mulai terfragmentasi, sisa-sisa populasi gajah sumatera masih bertahan.

Namun ketenangan itu semu. Di balik rimbun hutan, ancaman datang bukan dari senapan pemburu, melainkan dari selembar surat bertanda tangan gubernur.

Pada 22 Desember 2017, Pemerintah Provinsi Bengkulu berjanji menjaga Bentang Alam Seblat sebagai jalur penting gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Janji itu ditandai Keputusan Gubernur Nomor S.497.DLHK.2017 tentang Pembentukan Forum Kolaboratif Pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor (KEE) Gajah Sumatera.

“Kami akan menjaga gajah sumatera beserta habitatnya dari berbagai ancaman yang bisa membuat satwa langka ini menuju kepunahan,” ujar Yuliswani, Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Bengkulu, mewakili Gubernur Rohidin Mersyah, saat peresmian Forum KEE, Desember 2019 lalu.

Kala itu, banyak pihak berharap keputusan ini menjadi babak baru bagi konservasi gajah sumatera. Harapan untuk melindungi bentang alam yang menjadi rumah sekitar 70–150 individu gajah, agar tidak tercerai-berai oleh aktivitas manusia.

Namun, hanya setahun berselang, harapan itu retak. Pada 8 Januari 2019, Gubernur Bengkulu mengirim surat bernomor 522/011/DLHK/2019 kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Isinya: usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bengkulu. Total area yang diusulkan berubah fungsi mencapai 53.037 hektar.

Yang membuat heran, di antara usulan itu tercantum nama Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, lokasi Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, seluas 246 hektar yang hendak dijadikan hutan produksi konversi. Bahkan, sebagian wilayah yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial Koridor Gajah Sumatera juga diusulkan menjadi non-hutan seluas 1.900 hektar.

“Ini menunjukkan tidak konsistennya Pemerintah Bengkulu dalam mengeluarkan kebijakan,” kata Ali Akbar, Sekretaris Forum KEE Bentang Alam Seblat.

“Satu sisi bicara penyelamatan, sisi lain membuka jalan bagi kerusakan.”

Bagi Ali, keputusan itu ibarat pisau bermata dua. Ujung pertama menyuarakan konservasi, ujung lain menebas ruang hidup satwa dilindungi.

“Padahal semangat koridor adalah memberi ruang jelajah dan migrasi gajah, bukan malah mempersempitnya,” ujarnya.

Koridor memang menjadi kunci. Sebab, sekitar 80 persen wilayah jelajah gajah sumatera berada di luar kawasan konservasi. Tanpa jalur penghubung, kelompok-kelompok gajah akan terisolasi, kehilangan peluang kawin silang, dan populasinya terancam punah secara genetik.

Tambang batubara di Bengkulu Utara. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Peringatan dari aktivis

Tanda-tanda bahaya sudah diingatkan sejak lama. Pada Juni 2019, Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian, mengirim hasil kajian mereka kepada pemerintah provinsi. Hasilnya mencengangkan: 80 persen dari kawasan yang diusulkan dilepas fungsinya ternyata sudah digunakan perusahaan tambang dan perkebunan sawit.

“Artinya, usulan itu bukan untuk rakyat, tapi untuk memperluas kepentingan bisnis,” kata Uli.

“Konservasi jangan kalah oleh tambang dan sawit.”

Kajian Genesis menemukan dua kabupaten besar dalam usulan pelepasan kawasan hutan: Mukomuko dan Bengkulu Utara.

Mukomuko mengusulkan pelepasan 12.417 hektar, tapi 7.915 hektar di antaranya sudah masuk izin hak guna usaha (HGU) tiga perusahaan.

Di Bengkulu Utara, 22.671 hektar diusulkan lepas, dan 80 persen sudah dibebani izin dua perusahaan tambang dan dua perusahaan sawit.

“Harusnya pemerintah tidak membuat kebijakan yang saling bertentangan,” ujar Uli.

Di lapangan, dampak tumpang tindih kebijakan itu terlihat jelas. Hutan yang dulunya rimbun kini mulai gundul. Jalan tanah merah membelah bentang alam, menjadi jalur truk pengangkut buah sawit dan alat berat.

Di sisi lain, warga masih hidup berdampingan dengan gajah yang kadang muncul di kebun mereka, mencari sisa panen pisang atau singkong. Konflik pun tak terhindarkan.

“Kalau malam, gajah sering lewat belakang rumah. Kami takut, tapi mau bagaimana lagi,” kata Sulastri, warga Desa Air Rami, Mukomuko.

Ia masih ingat saat seekor gajah jantan muda masuk ke ladang karet, menghancurkan pagar, dan membuat warga berjaga semalaman dengan obor dan mercon.

WWF mencatat, dalam 25 tahun terakhir, gajah sumatera telah kehilangan sekitar 70 persen habitatnya. Populasi yang pada 2007 diperkirakan 2.400–2.800 individu kini menyusut lebih dari separuh.

Kehilangan hutan adalah penyebab utama. Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menunjukkan, tutupan hutan Bengkulu menyusut dari 1.009.209 hektar pada 1990 menjadi hanya 685.762 hektar kini. Artinya, dalam seperempat abad, Bengkulu kehilangan 323.447 hektar hutan, setara 36 hektar hilang setiap hari, atau 1,5 hektar setiap jam.

“Begitu cepatnya kehilangan ini, padahal kita bicara tentang spesies yang butuh ruang jelajah luas,” kata Direktur WARSI, Rudi Syaf.

“Kalau hutan habis, konflik meningkat, gajah mati, dan manusia pun rugi.”

Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, punya penjelasan lain. Saat diwawancarai Mongabay Indonesia, Juni 2019, ia mengatakan usulan pelepasan hutan itu bukan inisiatif provinsi, melainkan menindaklanjuti permintaan empat bupati: Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, dan Seluma.

“Surat sudah dikirim atas permintaan bupati/wali kota,” tulisnya lewat pesan singkat.

Senada dengan itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bengkulu, Sorjum Ahyar, menjelaskan dalam keterangan tertulis November 2019 bahwa perubahan fungsi kawasan dilakukan “untuk memenuhi tuntutan pembangunan serta aspirasi masyarakat.”

Menurut Sorjum, prosesnya mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

“Tujuannya untuk optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan secara lestari,” katanya.

Pemerintah juga menyertakan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam usulan itu, seluas 25.082 hektar. Alasannya, untuk mengurangi konflik tenurial di wilayah yang sudah lama ditempati masyarakat.

Namun bagi para pegiat lingkungan, penjelasan itu belum cukup.

“Bagaimana mungkin mengurangi konflik dengan menambah pembukaan hutan?” tanya Ali Akbar.

“Yang terjadi justru sebaliknya, hutan hilang, satwa terusir, dan konflik meningkat.”

Gajah sumatera di TWA Seblat, Bengkulu. Foto: Dodhy

Gajah Mencoba Bertahan

Di Bentang Alam Seblat, para gajah masih berusaha bertahan. Mereka bergerak dalam kelompok kecil, melintasi sungai dangkal dan semak berduri.

Jalur jelajah mereka kini terpotong kebun sawit dan tambang batu bara. Anak-anak gajah belajar mengikuti induknya mencari jalan yang aman, sementara di ujung lain, suara mesin ekskavator menggaung dari bukit yang baru dibuka.

Bagi para pegiat konservasi, menjaga Seblat bukan hanya soal gajah, tapi juga tentang masa depan Bengkulu. Hutan ini menyimpan sumber air, menjaga tanah dari longsor, dan menahan banjir di musim hujan.

Namun, sebagaimana pisau bermata dua yang disebut Ali Akbar, keputusan-keputusan yang diambil hari ini akan menentukan sisi mana yang lebih tajam: penyelamatan atau kehancuran. (Selesai)

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul: Bentang Alam Seblat, Pisau Bermata Dua Perlindungan Gajah Sumatera [Bagian 2]

Tinggalkan komentar

Sedang Tren