
Di atas tanah seluas lebih dari 21 hektare di Kampung Manggu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tumbuh ratusan jenis tanaman obat dari berbagai penjuru Nusantara.
Daun, akar, batang, hingga bunga hidup berdampingan di bawah rimbun pepohonan, dirawat penuh cinta oleh tangan seorang perempuan: Oday Kodariyah, herbalis yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga warisan pengetahuan leluhur dan berdamai dengan alam.
“Alam akan memberikan kebaikan bila kita menjaganya,” ujarnya lirih.
Tiga puluh tahun silam, Oday pernah berada di titik paling rapuh dalam hidupnya. Ia didiagnosis kanker serviks.
Berbulan-bulan tubuhnya dipenuhi obat kimia hingga akhirnya tak lagi sanggup menerimanya. Bibir dan kakinya membengkak, tubuh kesemutan, gatal, dan pendarahan hebat membuat kadar hemoglobinnya menurun drastis.
“Saya tidak menolak obat kimia, tapi tubuh saya tidak kuat lagi,” kenangnya.
Di saat putus asa itu, sang suami, Djadjat Sudradjat, berkelana mencari pengobatan tradisional. Suatu hari pada 1993, datang saudara dari Sumatera membawa bawang dayak, tanaman berumbi merah yang dikenal sebagai penawar kanker.
Rebusan umbi itu menjadi awal dari keajaiban. Perlahan, tubuh Oday pulih. Nafsu makannya kembali, tubuhnya menguat, dan semangat hidupnya tumbuh seperti tunas muda.
Sejak itu, arah hidupnya berubah. Ia belajar lebih dalam tentang tumbuhan obat, menimba ilmu dari berbagai herbalis dan literatur kuno.
Tahun 2001, Oday resmi menjadi herbalis bersertifikat dari Yayasan Karya Sari. Ia tak lagi sekadar mencari kesembuhan, tetapi ingin mewariskan pengetahuan penyembuhan itu bagi banyak orang.

Menanam 900 Tanaman, Merawat Kehidupan
Kebun Oday bukan sekadar lahan hijau. Ia adalah ensiklopedia hidup tanaman obat Nusantara. Dari hasil identifikasi tahun 2015, ada 418 spesimen koleksi tanaman obat dari 102 famili dan 341 spesies, mulai dari herba semusim, perdu, pohon, hingga tanaman langka yang sulit dijumpai di Pulau Jawa.
Beberapa di antaranya bahkan termasuk 48 spesies yang sulit ditemukan dan 18 spesies langka.
“Itu bukti betapa kayanya Indonesia. Kita hanya perlu merawatnya,” katanya.
Dari kebunnya yang rimbun, Oday belajar satu hal penting: manusia tak bisa hidup tanpa alam. Ia percaya, banyak bencana dan wabah muncul karena manusia terlalu rakus mengeksploitasi bumi.
Kini, Oday tengah mengembangkan Herbarium Tanaman Obat Oday Kodariyah di Bukit Sari Alam, Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasir Jambu.
Tempat itu bukan hanya kebun, tapi juga pusat konsultasi, edukasi, dan wisata herba life style. Ia ingin generasi muda, supaya lebih mengenal tanaman obat dan menghargai kearifan lokal Indonesia.
Dalam pengolahan tanaman, ia memadukan cara tradisional dengan teknologi modern lewat metode simplisia dan laboratorium mini untuk pengeringan, pencampuran, dan pemrosesan. Semua dilakukan agar khasiat tanaman tetap optimal tanpa kehilangan keaslian.
Selain itu, Oday juga menanam berbagai jenis bambu untuk konservasi mata air, memelihara kambing untuk susu herbal, dan menggunakan pupuk organik dari kotoran ternak.
“Kalau kita menjaga keseimbangan, alam juga akan menyeimbangkan hidup kita,” katanya pelan.
Penghargaan dan Warisa
Atas dedikasinya menjaga kelestarian alam dan kearifan pengobatan tradisional, Oday Kodariyah menerima dua penghargaan Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia.
Pada tahun 2018, ia meraih Kalpataru kategori Perintis Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, atas upayanya mempertahankan sumber genetik tanaman obat melalui pelestarian sekitar 900 jenis tanaman di kebunnya.
Tujuh tahun berselang, pada 2025, ia kembali mendapatkan Kalpataru Lestari dari KLHK, sebagai pengakuan atas konsistensinya menjaga keanekaragaman hayati dan mempromosikan gaya hidup alami yang selaras dengan alam.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID
Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul: Oday Kodariyah, Pelestari Tanaman Obat Tradisional Indonesia





Tinggalkan komentar