
Akar-akar bakau tampak mencuat dari lumpur hitam. Burung kuntul putih melintas rendah, sementara suara kepakan sayap elang laut terdengar di kejauhan.
Di sela dedaunan yang basah, monyet ekor panjang meloncat lincah, meninggalkan jejak di antara akar napas mangrove.
Inilah wajah Taman Nasional Berbak–Sembilang, hamparan hutan bakau dan rawa gambut yang menyimpan kehidupan dari laut hingga darat, dari burung migran hingga harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Kawasan ini bukan hanya rumah bagi harimau Sumatera dan ratusan jenis burung langka, tapi juga benteng terakhir ekosistem lahan basah yang masih utuh di Pulau Sumatera.
Sebelum digabung, kawasan ini terbagi menjadi dua taman nasional berbeda: Taman Nasional Berbak di Jambi dan Taman Nasional Sembilang di Sumatera Selatan.
Taman Nasional Berbak memiliki luas sekitar 141.261 hektar, dengan karakter khas hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar. Sedangkan Sembilang, yang berada di pesisir timur Sumatera Selatan, membentang hingga 202.896 hektar, didominasi oleh ekosistem mangrove dan perairan pesisir.
Kini, keduanya berpadu menjadi Taman Nasional Berbak Sembilang, kawasan seluas lebih dari 200 ribu hektar yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati luar biasa, dari burung migran lintas benua hingga predator puncak rantai makanan: harimau Sumatera.

Jejak Panjang Sejarah Konservasi
Jejak perlindungan kawasan ini sudah dimulai hampir seabad lalu. Pada tahun 1935, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Berbak sebagai Suaka Margasatwa melalui Staatsblad van Nederlandsch Indie Nomor 18 dengan luas 190 ribu hektar.
Setengah abad kemudian, pada 1991, dunia internasional memberi pengakuan penting: kawasan Berbak diresmikan sebagai Situs Ramsar ke-554, menandai statusnya sebagai lahan basah berkelas dunia.
Setahun kemudian, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Taman Nasional Berbak lewat SK Menteri Kehutanan Nomor 285/Kpts-II/1992.
Keputusan itu mengukuhkan Berbak sebagai kawasan pelestarian alam yang berfungsi melindungi sistem penyangga kehidupan, flora, fauna, dan ekosistem khas rawa gambutnya.
Kemudian, pengakuan dunia itu semakin kuat saat UNESCO menetapkan kawasan Berbak–Sembilang sebagai Cagar Biosfer Dunia pada 25 Juli 2018. Penetapan ini dilakukan dalam sidang International Coordinating Council (ICC) – Man and the Biosphere (MAB) Programme di Palembang.
Status ini bukan hanya penghargaan, tapi juga amanah: menjadikan Berbak–Sembilang sebagai laboratorium hidup untuk membangun keseimbangan antara konservasi, pembangunan ekonomi, dan keberlanjutan sosial masyarakat sekitar.
“Nantinya setiap desa yang berdekatan dengan cagar budaya biosfer diberikan pendampingan, agar dapat mengembangkan desanya dari aspek ekonomi dan lainnya,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno ketika itu.

Rimba Tak Terjamah
Sebagian besar wilayah TNBS merupakan lahan basah alami, hutan rawa gambut, hutan air tawar, dan mangrove yang menjadi paru-paru penting bagi Sumatera bagian timur.
Di dalamnya tumbuh ratusan jenis tumbuhan khas seperti meranti, ramin, jelutung, kantong semar, serta anggrek hutan yang hanya hidup di kondisi rawa tertentu.
Faunanya tak kalah menakjubkan. Berdasarkan data Balai TN Berbak Sembilang dan Zoological Society of London (ZSL), di kawasan ini ditemukan 53 jenis mamalia, termasuk harimau Sumatera, tapir, kancil, mentok rimba, dan ungko.
Di sungai-sungai berlumpur hidup buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) dan ikan arwana Sumatera yang langka.
Dari data Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera), Berbak-Sembilang merupakan Kawasan Kunci Keanekaragaman Hayati (Key Biodiversity Area/KBA) dan Kawasan Penting Burung (Important Bird Area/IBA).
“Tak kurang dari 345 jenis burung menjadikan tempat ini rumah mereka, termasuk 28 jenis burung migran yang menempuh ribuan kilometer dari Asia Timur hingga Australia setiap tahun,” tulis laporan TFCA-Sumatera.

Harimau di Rawa
Di tengah keheningan rimba Berbak, langkah kaki seekor harimau Sumatera meninggalkan jejak di tanah gambut. Subspesies yang hanya tersisa di pulau ini menjadi simbol keberlanjutan ekosistem.
Hasil monitoring TFCA-Sumatera menggunakan camera trap pada 2008–2011 mendeteksi 13 individu harimau Sumatera dengan kepadatan populasi tertinggi di Sumatera, sekitar 2–3 ekor per 100 km².
Harimau adalah spesies payung (umbrella species), kehadirannya menandakan bahwa seluruh rantai kehidupan di bawahnya masih terjaga. Namun ancaman terhadapnya tak sedikit: deforestasi, kebakaran hutan, kanal gambut, dan konflik satwa-manusia masih terus membayangi.
Dalam 18 tahun terakhir, laju deforestasi di ekosistem Berbak mencapai -0,75% hingga -3,03% per tahun. Bahkan, empat individu harimau dilaporkan mati akibat konflik dengan manusia hanya dalam satu tahun terakhir.

Benteng Terakhir Lahan Basah
Tantangan terbesar Berbak-Sembilang hari ini bukan hanya menjaga hutan dari gergaji dan api, tapi juga membangun kesadaran bahwa kawasan ini adalah penyangga kehidupan manusia itu sendiri.
Rawa gambut dan mangrove di Berbak Sembilang menyimpan karbon dalam jumlah besar, menahan abrasi, menyaring air, dan melindungi pesisir dari badai laut.
Ketika dunia bicara soal perubahan iklim, kawasan seperti Berbak Sembilang menjadi jawaban alami yang kita miliki.
Di antara desir angin laut dan gumam air rawa, Taman Nasional Berbak Sembilang berdiri sebagai warisan alam tak ternilai, tempat di mana harimau masih mengaum, burung migran singgah dari benua jauh, dan bumi masih bernafas dari akar-akar gambutnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID





Tinggalkan komentar