
Baca: Ketika Bumi Bengkulu Berguncang: Jejak Panjang Gempa Pantai Barat Sumatera – Bagian 1
Baca: Jika Tsunami Menerjang Bengkulu: Tinggi Gelombang dan Waktu Evakuasi – Bagian 2
Baca: Sabuk Hijau Peredam Tsunami yang Hilang – Bagian 3
Suara ombak Pantai Panjang terdengar riuh, berulang memecah karang, seolah mengingatkan sesuatu yang belum tuntas. Di balik debur laut dan pasir kecokelatan, Bengkulu menyimpan potensi ancaman yang jarang dibicarakan: tanah yang bisa mendadak kehilangan kekuatannya, mencair, dan menelan apa pun di atasnya. Fenomena itu disebut likuifaksi.
Adrian Tohari masih ingat ketika pertama kali meneliti tanah pesisir Bengkulu, hampir dua dekade silam.
Tahun 2007, peneliti Geoteknologi LIPI (saat ini BRIN) itu menancapkan alat bor di dekat garis pantai. Hasilnya membuatnya mengernyit: lapisan pasir di bawah permukaan tanah terbentuk dari endapan yang longgar, tak sepadat yang seharusnya menopang kota di tepi Samudra Hindia.
“Lapisan pasir yang tidak padat itu cenderung amblas ketika terjadi gempa,” katanya Adrian, Jumat [20/9/2019].
Kini, setelah gempa dan tsunami Palu 2018 menorehkan luka panjang di Sulawesi Tengah, bayang-bayang bencana serupa seakan menatap Bengkulu.
Adrian mengingatkan, walau potensi likuifaksi di Bengkulu tidak sebesar Palu, kewaspadaan tetap perlu.
“Tidak ada salahnya bila pemerintah dan masyarakat mengetahui ancaman tersebut agar meminimalisir dampak bencana,” ujarnya.
Di pesisir Bengkulu, air tanah berada hanya dua hingga empat meter di bawah permukaan. Dangkal, rapuh, dan mudah luluh ketika gempa besar mengguncang. Itulah kombinasi sempurna bagi terjadinya likuifaksi.
Adrian menyebut, kawasan Pantai Panjang, Lempuing, Penurunan, Padang Harapan, Kandang, Teluk Sepang, hingga sekitar Danau Dendam Tak Sudah termasuk wilayah yang rentan. Di daerah itu, tanah tersusun atas endapan pasir halus hasil proses ribuan tahun.
Di wilayah yang lebih tinggi seperti Pagardewa, Dusun Besar, atau Kebon Tebeng, lapisan vulkanik membuat risiko lebih rendah.
“Namun tetap saja, dampaknya bisa terasa pada penurunan pondasi bangunan,” ujar Adrian.
Menurutnya, mitigasi terbaik adalah membuat peta zonasi kerentanan likuifaksi, panduan bagi perencana kota agar tak membangun di atas tanah yang bisa tiba-tiba berubah menjadi lumpur.
Kajian serupa juga pernah dilakukan oleh dua peneliti dari Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Sugalang dan Taufiq Wira Buana.
Dalam riset mereka yang terbit di Buletin Geologi Tata Lingkungan edisi Agustus 2012, disebutkan sembilan titik di Kota Bengkulu yang berpotensi likuifaksi sangat tinggi: Tanah Jambu, Bentiring, Semarang, Surabaya, Padang Harapan, Jatigedong, Kandamas, Pasar Aceh, dan Pasar Lebar.
Rekomendasi mereka jelas: perkuat pondasi bangunan di atas endapan pasir dan atur tata ruang kota agar kawasan vital tidak berdiri di tanah rapuh.
Fenomena likuifaksi sendiri, menurut ahli geologi ITB, Imam Achmad Sadinum, adalah perubahan material tanah dari padat menjadi cair akibat gempa.
“Material itu jenuh air. Saat guncangan datang, tekanan air di pori-pori meningkat dan tanah kehilangan kekuatannya,” tulis Imam di situs ITB.
“Akibatnya, tanah seolah-olah mencair.”

Palu menjadi saksi paling nyata dari daya rusak likuifaksi. Jumat, 28 September 2018, pukul 18.02 WITA, gempa berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah.
Lima menit kemudian, tsunami setinggi tujuh hingga lima belas meter menerjang pesisir Donggala dan Teluk Palu.
Tak lama setelah itu, tanah di Petobo dan Balaroa mulai “bergerak”, naik, turun, lalu amblas. Dalam hitungan detik, rumah-rumah tertelan bumi.
Sebagian tanah turun lima meter, sebagian lain naik dua meter. Dari udara, bekas permukiman itu tampak seperti lautan lumpur beku.
Laporan Pemerintah Sulawesi Tengah mencatat, 2.830 orang meninggal dunia, 1.016 dikubur massal, dan lebih dari 172 ribu kehilangan tempat tinggal.
Bagi Adrian, tragedi Palu adalah peringatan keras bagi wilayah rawan gempa di Indonesia, termasuk Bengkulu. Ia tahu, sebagian besar masyarakat mungkin tak mengenal istilah likuifaksi. Tapi bencana tak menunggu pengetahuan.
“Air tanah, pasir, dan gempa, ketiganya cukup untuk membuat bumi bergoyang lebih dari sekadar guncangan,” ujarnya pelan. (Selesai).
***
Ahmad Supardi/SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan oleh Mongabay Indonesia dengan judul: Likuifaksi, Bisa Juga Terjadi di Bengkulu [Bagian 4]





Tinggalkan komentar