
Sejak lama, lahan basah menjadi salah satu tempat bermukim manusia. Berbagai situs arkeologi di Indonesia menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki peradaban khas, termasuk di pantai timur Sumatera.
Bambang Budi Utomo, Peneliti Senior Arkeologi Lahan Basah di Indonesia, menjelaskan bahwa teori tentang garis pantai timur Sumatera berawal dari kajian V. Obdeyn pada 1948.
Obdeyn berpendapat garis pantai timur Sumatera berada di pedalaman Batanghari dan bermuara di sebuah teluk besar yang dipenuhi dataran basah. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh Soekmono, pakar arkeologi Indonesia, yang pada 1954 melakukan pemantauan udara.
Pada 1982, bersama Sartono, pakar geologi Indonesia, Soekmono menegaskan kembali bahwa kawasan Sungai Musi memiliki sebuah tanjung, dengan Palembang berada di ujungnya.
“Ujung tanjung itu dikenal dengan nama Bukit Siguntang, sedangkan Sungai Musi mengalir di bawahnya. Di seberangnya bukan perairan dangkal, melainkan rawa-rawa luas yang kini menjadi wilayah Seberang Ulu, Plaju, dan Sungai Gerong,” kata Bambang.

Namun, teori garis pantai ini mulai bergeser sekitar 1986. Saat itu, warga Air Sugihan menemukan manik-manik batu karnelian dan kendi keramik dari Dinasti Sui (abad ke-5–6 M) saat menggali pekarangan. Temuan ini membuktikan bahwa sejak abad ke-6 M penduduk di sana telah mengenal perdagangan jarak jauh dengan India dan Tiongkok.
Sejak itu, penelitian intensif dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang. Penelitian di pantai timur Sumatera menjadi tonggak pertama arkeologi lahan basah di Indonesia.
Hasilnya, ditemukan artefak dan situs yang menunjukkan adanya permukiman kuno dan kehidupan bahari, seperti sisa tiang rumah kayu, tembikar, manik-manik kaca dan batu, artefak logam, hingga perlengkapan nelayan.

Situs Karangagung Tengah, khususnya di Mulyagung, Karangmukti, Sariagung, Sukajadi, dan Bumiagung, memperlihatkan jejak kehidupan sehari-hari masyarakat kuno: rumah panggung berbahan kayu nibung (Oncosperma tigillarium), kemudi perahu, bandul jala, hingga benda-benda antropomorfik. Berdasarkan penanggalan karbon C-14, hubungan dagang dengan India sudah berlangsung sejak abad ke-4 M, sementara dari Situs Air Sugihan bahkan lebih tua lagi, yaitu abad ke-2 M.
Temuan ini membuka wawasan baru bahwa manusia justru mampu hidup di lahan rawa yang sebelumnya dianggap sulit dihuni. Menurut Bambang, masyarakat rawa ini kemungkinan menjadi cikal bakal suku bangsa laut—seperti Bajau dan Ameng Sewang—yang tersebar di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, hingga Sulawesi Tenggara. Mereka merupakan penutur bahasa Austronesia, atau yang disebut James Collins sebagai Bahasa Melayu Kuno, yang kemudian melanjutkan migrasi ke Laut Tiongkok Selatan dan Semenanjung Tanah Melayu.
“Di Sumatera, mereka mendarat melalui muara Batanghari, muara Musi, dan muara Air Saleh,” jelas Bambang.

Lahan Basah dan Peradaban Besar
Dalam acara yang sama, Fadlan S. Intan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Arkeologi, menegaskan pentingnya lahan basah. Ia menyinggung Konvensi Ramsar 1971—perjanjian internasional tentang konservasi lahan basah—yang kemudian diratifikasi Indonesia pada 1991.
Fadlan meneliti Situs Air Sugihan di sektor Banyubiru, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Menurutnya, letak Air Sugihan di jalur muara pelayaran memungkinkan terjadinya komunikasi budaya dengan daerah lain sejak awal. Bukti arkeologis dari penelitian tahun 1988 berupa guci Dinasti Sui (abad ke-6–7 M) serta manik-manik kaca Indo-Pasifik, kaca emas, dan batu karnelian dari Mesir (abad ke-4–11 M).
“Temuan ini menguatkan dugaan adanya permukiman kuno pra-Sriwijaya di Air Sugihan,” jelas Fadlan.
Ia juga mencatat, Indonesia memiliki tujuh lahan basah penting, antara lain Taman Nasional Sembilang (Sumsel), Berbak (Jambi), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), hingga Wasur (Papua).
Sementara itu, Herry Yogaswara, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), menekankan perlunya dukungan masyarakat dan pemerintah dalam riset lahan basah. Sebab, luas lahan basah Indonesia mencapai 20 persen dari daratan, termasuk wilayah gambut yang sangat penting bagi keberlanjutan.
“Ini bukan hanya soal Sumatera, tapi juga masa depan ekologi dan peradaban kita,” tegas Herry.
***
Ahmad Supardi/SustainergyID.
Tulisan ini juga dimuat di Monagabay Indonesia dengan judul: Menjaga Lahan Basah, Merawat Peradaban Bangsa Indonesia





Tinggalkan komentar