
Yudi berjalan pelan di halaman rumahnya, menenteng ember plastik berisi pakan. Langkahnya terhenti di tepi kolam yang luasnya tak lebih dari setengah lapangan bulu tangkis. Airnya berwarna kehijauan, jernih memantulkan bayangan pepohonan.
Kolam ini tak ada lagi bekas warna khas rawa gambut: hitam pekat atau kadang cokelat berkarat. Yudi sudah menetralisir keasamannya dengan mencampur kapur dan kotoran hewan. Tingkat keasaman atau kebasaan (pH) air kolam itu pun menjadi stabil diangka 6 hingga 8. Bertanda sudah ramah dengan ikan yang dipeliharanya.
Yudi menunduk, meraup segenggam pakan, lalu menebarkannya ke permukaan. Butir-butir itu memercik, sebelum menghilang ditelan air.
Sesaat hening, hanya terdengar suara riak kecil dan suara tonggeret, hingga tiba-tiba muncul riakan.
Seekor ikan berwarna perak keputihan melesat, tubuhnya pipih memanjang, siripnya menjuntai panjang. Gerakannya cepat, berbeda dengan ikan patin, lele atau gurami yang biasa dibudidayakan petani di desa ini.
“Itulah belida putak,” kata Yudi, 45 tahun, sambil tersenyum pada Selasa, 30 September 2025.
Namun, di Sumatera Selatan, sebutan “belida” sering kali menimbulkan kerancuan. Ikan putak atau ikan belida jawa (Notopterus notopterus) kerap dianggap sama dengan ikan belida asli (Chitala spp.). Padahal keduanya berbeda spesies. Namun sama-sama jenis ikan berpunggung pisau (suku Notopteridae).
Putak umumnya lebih kecil, tubuhnya polos dengan punggung lurus. Sementara belida bisa tumbuh besar, bercorak tutul hitam, dan punggungnya agak bungkuk.
Walau begitu, keduanya sama-sama hidup di sungai dan rawa. Dan bagi masyarakat Sumatera Selatan, putak pun akhirnya diterima sebagai pengganti belida, terutama setelah populasi belida menurun. Ikan inilah yang kemudian banyak dipakai sebagai bahan pempek, kudapan yang melekat dengan identitas Wong Palembang.
Bagi orang Palembang, belida bukan sekadar komoditas perikanan. Ia adalah simbol Sungai Musi, hadir dalam makanan harian, seperti pempek, kerupuk, hingga kemplang, serta menjadi bagian dari ingatan kolektif yang diwariskan lintas generasi. Namun, hasil buah tangan itu perlahan memudar. Populasi ikan menyusut akibat alih fungsi lahan, pencemaran, hingga penangkapan berlebih.
Baca: Pertamina Kilang Plaju Luncurkan Program Konservasi Ikan Belida Musi

Sungai yang Sepi Ikan
Yudi masih ingat masa kecilnya. “Dulu, sekali pasang jaring bisa dapat tiga sampai lima ekor ikan, termasuk belida. Sekarang, jangankan lima, satu pun susah,” katanya.
Ia lahir dan besar di tepian Sungai Gerong, salah satu anak Sungai Gasing yang mengalir ke Sungai Musi. Daerah ini dikepung rawa gambut dengan banyak anak sungai kecil. Airnya dulu jernih, tenang, dan menjadi ruang bermain bagi anak-anak desa. Di sinilah pula berdiri Komplek Pertamina (Komperta) Kilang Sungai Gerong sejak 1926, menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga.
Sungai bagi Yudi adalah nadi kehidupan: memberi ikan, air, sekaligus cerita. Namun dalam dua dekade terakhir, denyut itu meredup. Ikan-ikan kian jarang, seakan pergi dari Musi dan seluruh anak sungainya.
Sedangkan saat ini, yang ramai justru adalah kanal-kanal sawit yang mengiris rawa gambut. Perumahan baru menimbun lahan basah. Warga ikut menambah tekanan: menebang hutan rawa, menyetrum ikan, meracuni air.
“Ikan belida dan ikan lokal lainnya sudah sulit ditemui, tak sebanyak dulu,” ujar Yudi lirih.
Baca: Energi Bersih dan Wisata Edukasi: Desa Rantau Dedap Jadi Wajah Baru Transisi Energi Pertamina

Krisis itu seperti duri yang menancap di hati Yudi. Sejak kecil ia akrab dengan riak sungai, dengan jala yang selalu penuh tangkapan. Namun memasuki tahun 2010-an, ia menyadari ada yang perlahan lenyap: ikan-ikan lokal makin sulit ditemui. Tahun 2012, ia memutuskan melakukan sesuatu.
Di pekarangan rumahnya, Yudi menggali lima kolam sederhana. Awalnya hanya untuk pembesaran lele, sekadar percobaan untuk mengisi waktu sekaligus memenuhi kebutuhan dapur. Tapi rasa ingin tahunya terlalu besar untuk berhenti di situ. Ia belajar tentang cara memijah ikan, membaca buku, bertanya pada sesama pembudidaya, dan mencoba berulang kali. Hingga suatu hari, usahanya berbuah hasil: ikan-ikan kecil lahir dari kolam buatannya sendiri.
“Dari situ saya merasa punya harapan,” katanya. Harapan bahwa sungai yang kehilangan penghuninya bisa ia hidupkan kembali, meski lewat usaha keras kolam buatan.
Dua tahun kemudian, tepatnya 2014, langkahnya semakin jelas. Ia tak lagi puas hanya dengan lele. Yudi mulai membudidayakan ikan-ikan lokal: betok, sepat, hingga gabus. Bagi orang lain, mungkin ikan-ikan itu dianggap biasa saja, bahkan remeh. Tetapi bagi Yudi, itu pusaka yang mesti dijaga.
“Kenapa ikan lokal? Karena makin susah ditemui,” ujarnya pelan, seakan bicara kepada dirinya sendiri. Itu semacam perlawanan kecil, melawan hilangnya pusaka sungai, melawan arus zaman yang menggerus ingatan akan rasa dan cerita masa kecil.
Baca: Panel Surya di Pulau Semambu: Panen Terjaga, Api Reda

Dari Sungai ke Kolam
Tahun 2019, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU III Plaju meluncurkan program Belida Musi Lestari. Targetnya mengembangkan kawasan sentra perikanan berkelanjutan dari hulu ke hilir di Desa Sungai Gerong. Enam tahun berjalan, program ini membentuk 18 sentra perikanan, memberi manfaat bagi tujuh kelompok rentan: buruh harian, nelayan, ibu hamil dengan Kekurangan Energi Kronis, hingga anak-anak kurang gizi.
Yudi ikut bergabung. Tahun 2021, ia mendirikan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Tunas Makmur bersama warga. Target mereka bukan lele atau nila, melainkan sesuatu yang lebih berani: membawa belida dari sungai ke kolam.
Banyak yang meragukan langkah itu. Belida dikenal sensitif, hanya cocok hidup di arus tenang sungai besar. Namun Pokdakan Tunas Makmur membuktikan sebaliknya. Dengan eksperimen sederhana, menyesuaikan kualitas air, menata kolam, memberi pakan alami, belida jawa atau ikan putak bukan hanya bertahan, tapi juga berkembang biak.
Baca: Belida: Ikan Sungai yang Jadi Simbol Sumatera Selatan

Kini 211 ekor berhasil diselamatkan lewat program Belida Musi Lestari, 15 ekor dari hasil konservasi, dan 31 ekor sudah didomestikasi di kolam Yudi.
Keberhasilan itu datang di saat genting. Pada 2020, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) merilis kabar bahwa salah satu kerabat belida, Chitala lopis, punah di Jawa.
Namun, riset terbaru kemudian menemukan kembali spesies ini di beberapa titik di Sumatera dan Kalimantan, sekaligus menguatkan betapa kritisnya populasi belida di Indonesia. Para peneliti menyebut mayoritas belida yang tersisa adalah Chitala lopis, sementara dua kerabat lainnya, yakni C. borneensis dan C. hypselonotus, juga hampir lenyap dari perairan Sumatera dan Jawa.
Pemerintah Indonesia pun memasukkan tiga spesies belida dalam daftar ikan dilindungi melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021. Namun IUCN masih menilai sebagian spesies belida dengan status Least Concern, yang artinya belum terancam punah. Banyak ahli menilai status itu sudah tak lagi relevan, mengingat stok dan sebaran belida semakin terbatas.
Jika dunia kehilangan spesies ini, maka Sumatera Selatan kehilangan simbolnya.
Baca: 172 Tahun Menghilang, Ikan Belida Lopis Ditemukan Kembali

Ilmu Bertemu Kearifan Lokal
Kisah Yudi tentu tak berdiri sendiri. Di belakang perjuangannya, ada riset akademisi dan sokongan korporasi yang menopang.
Salah satu yang sejak awal memberi perhatian adalah Arif Wibowo, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia melihat upaya domestikasi belida bukan semata urusan menyelamatkan spesies, tapi juga membuka peluang ekonomi.
“Harapan kami, setelah angka kelangsungan hidup (survival rate) optimal, pertumbuhannya bisa dipercepat hingga skala bisnis,” ujar Arif.
Bagi Arif, pelestarian ikan belida punya makna ganda. Ia menegaskan, punahnya belida tak hanya merapuhkan ekosistem sungai, tetapi juga mengancam dapur para pelaku usaha kecil yang bergantung pada ikan ini.
“Jika belida hilang, UMKM yang menggantungkan hidup darinya pun terhenti. Konservasi memastikan ekosistem tetap hidup, ekonomi masyarakat pun terus berputar,” katanya.
Dari laboratorium riset, upaya itu mendapat tenaga tambahan lewat tangan korporasi. Kilang Pertamina Plaju menjadi motor penghubung lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Sejak 2019, mereka menjalankan inisiatif Belida Musi Lestari: restocking puluhan ribu benih belida ke Sungai Musi dan anak-anak sungainya, advokasi regulasi perlindungan, hingga membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas).
“Keberhasilan domestikasi membuktikan masyarakat lokal bisa jadi motor konservasi sekaligus membuka peluang ekonomi baru,” kata Siti Rachmi Indahsari, Area Manager Communication, Relations & CSR RU III Plaju, pada 21 September 2025 lalu.
Ia menyadari Sungai Musi bukan sekadar bentangan air. Sungai itu menyimpan sejarah panjang peradaban Palembang, menjadi jalur perdagangan, sekaligus rumah bagi ikan belida yang kian terancam. Karena itulah, Pertamina Refinery Unit (RU) III Plaju meluncurkan program konservasi bertajuk Belida Musi Lestari Berdikari.
“Ikan belida bukan hanya ikon Sungai Musi, tetapi juga bagian penting dari ekosistem dan identitas budaya masyarakat. Kampanye hidup berdampingan dengan Sungai Musi menjadi penguat kami untuk fokus pada program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL),” ujar Siti Rachmi.
Bagi pemerintah daerah, Sungai Gerong kini tak sekadar aliran air tenang di tepian rawa, melainkan kawasan perikanan terintegrasi.
Kepala Dinas Perikanan Banyuasin, Septi Fitri, menilai kolaborasi lintas pihak ini mulai menunjukkan hasil.
“Dari hulu ke hilir sudah berjalan. Bahkan pakan dibuat sendiri oleh masyarakat,” ujarnya.
Menurut Septi, model yang lahir dari Sungai Gerong memperlihatkan bahwa masyarakat mampu mengelola perikanan secara mandiri: dari pembenihan, pembesaran, pengolahan, hingga produksi pakan lokal.
“Banyak ikan asli perairan kita yang kini bisa kembali dibudidayakan,” katanya.
Lewat langkah-langkah ini, Kilang Pertamina Plaju ingin menghadirkan model konservasi terpadu, bukan hanya menjaga keberlangsungan ikan belida, tetapi juga menguatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup berdampingan dengan Sungai Musi.
Baca: Lahan Basah dan Jejak Peradaban di Pesisir Timur Sumatera

Ancaman dari Sungai
Meski belida sudah berhasil dijinakkan di kolam, persoalan di sungai jauh lebih rumit. Banyuasin dan daerah Pesisir Timur Sumatera Selatan lainnya masih bergulat dengan alih fungsi rawa gambut ke perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), hingga praktik illegal fishing, penyetruman, racun, jaring berukuran kecil, hingga kapal yang masuk tanpa izin.
“Selama ini illegal fishing sulit diberantas karena dianggap sepele. Padahal dampaknya serius, merusak ekosistem dan keberlanjutan perikanan kita,” kata Septi Fitri.
Septi menegaskan, menjaga kelestarian perairan tak bisa dilakukan satu pihak saja. Dibutuhkan sinergi antara masyarakat, pemerintah, hingga aparat penegak hukum.
Septi menyebut dukungan Pertamina menjadi angin segar. Mulai dari konservasi belida, restocking ikan, pemasangan plang larangan illegal fishing, hingga pengembangan kawasan perikanan terintegrasi di Sungai Gerong. Namun, regulasi tak cukup bila tak diiringi penegakan.
“Laporan Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) sering masuk, tapi kalau aparat tak menindak, percuma juga,” ujarnya.
Baca: Desa-Desa di Sumsel Hidupkan Harapan Baru Lewat Energi Bersih

Di lapangan, cerita lain mengemuka. Hafid AlFajri, Koordinator Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Palembang, menyebut modus pelaku kian beragam: alat tangkap tak ramah lingkungan, setrum, hingga kapal masuk tanpa izin.
“Ada yang siang jadi petani, malamnya nyetrum ikan,” katanya.
Sosialisasi hingga desa, menurutnya, perlu digencarkan, diiringi penguatan Pokmaswas. Pokmaswas memang jadi garda terdepan. Tapi jalan mereka terjal.
“Sering kami malah ditegur balik,” tutur Sahrul, Ketua Pokmaswas Pulau Salah Nama. Tujuh kelompok di wilayahnya masih bertahan, meski hasil tangkapan nelayan tradisional terus menurun sementara pelaku illegal fishing semakin leluasa.
Dari tingkat provinsi, Helen Filiani, Plt. Kabid Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel, menilai kelembagaan Pokmaswas perlu diperkuat. “Mereka mitra strategis pemerintah. Kalau kelembagaan makin kokoh, pengawasan di desa lebih efektif,” ujarnya.
Pertamina pun menyambung kerja konservasi dengan pendekatan korporasi. “Belida adalah kebanggaan Sumatera Selatan. Menjaga keberlanjutannya sama dengan menjaga identitas budaya kita,” kata Siti Rachmi Indahsari, Area Manager Communication, Relations & CSR RU III Plaju.
Dari Advokasi ke Regulasi
Tekanan publik, kerja komunitas, dan advokasi berlapis akhirnya berbuah di tingkat kebijakan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 83 Tahun 2024, yang mengubah status belida putak dari perlindungan penuh menjadi perlindungan terbatas. Regulasi ini membuka ruang budidaya, sekaligus menekankan pentingnya konservasi.
Di tingkat lokal, Pertamina Plaju ikut mendorong lahirnya aturan baru. Salah satunya SK No. 72/KPTS/DISKAN Tahun 2024 yang melarang penggunaan alat tangkap merusak di perairan Banyuasin. Bersama pemerintah daerah, mereka memasang plang larangan, membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas, hingga melepas lebih dari 43 ribu ekor ikan ke sungai.
“Melalui langkah ini, kami ingin hidup berdampingan dengan Musi,” ujar Siti Rachmi.
Bagi warga, aturan-aturan itu menjadi pegangan baru. Sungai Musi tak lagi dipandang sekadar bentangan air untuk dieksploitasi, melainkan ruang hidup yang mesti dijaga.
Baca: Desa Energi Berdikari: Listrik Bersih Menjadi Nadi Ekonomi dan Inovasi Warga

Energi Baru dari Desa
Program konservasi ikan belida tak berdiri sendiri. Pertamina Kilang Plaju bersama Pertamina New & Renewable Energy (NRE) juga menghadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 22 kWp di Desa Sungai Gerong. Dari deretan panel surya itu, energi bersih mengalir ke posyandu, sekolah PAUD, UMKM olahan ikan, hingga kelompok pembudidaya ikan di desa tersebut.
Inisiatif ini menjadi bagian dari Desa Energi Berdikari (DEB), program pemberdayaan energi terbarukan yang diinisiasi oleh PT Pertamina dan diresmikan pada 28 Agustus 2025 lalu.
Melalui program ini, Desa Sungai Gerong menjadi contoh bagaimana transisi energi dapat berjalan seiring dengan pelestarian ikan belida melalui budidaya terintegrasi. Tak hanya menjaga kelestarian lingkungan, program ini juga membangun ekosistem konservasi yang melibatkan masyarakat, serta membuka peluang baru bagi peningkatan kesejahteraan warga.
Di Sekretariat UMKM Jasmine Suger, misalnya, mesin penggiling kerupuk ikan kini berputar dengan tenaga matahari. Bersama ibu-ibu desa, Windi Larasati, Sekretaris UMKM Jasmine Suger, mengembangkan usaha olahan ikan yang kian laris di pasar lokal.
“Dulu kami hanya bisa berharap pada sungai. Sekarang kami belajar bahwa energi bisa datang dari matahari, dan ikan bisa dijaga dari kolam,” ujar Windi.
Kepala Dusun Desa Sungai Gerong, Aris Riyadi, menyebut program ini juga menyentuh kesehatan keluarga. Di posyandu, listrik surya menjaga layanan tetap berjalan.
“Dari dapur rumah ibu-ibu kader posyandu, mereka menyiapkan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) berbahan ikan lokal dan sayuran hidroponik. Anak-anak pun tumbuh dengan gizi yang lebih terjaga, berkat energi dari matahari dan ikan yang lestari.”
Baca: Energi Bersih dan Perubahan Iklim: Apa Hubungannya?

Di Palembang, belida lebih dari sekadar ikan. Ia menjelma simbol: berdiri megah sebagai tugu di Benteng Kuto Besak, hadir di lidah lewat pempek, makanan kebanggaan wong kito galo.
“Kalau tak ada belida, pempek kehilangan rohnya,” kata Andi Wijaya, pengunjung Benteng Kuto Besak, sambil menatap arus Musi.
Namun, roh itu perlahan menguap. Belida yang dulu melimpah di sungai kini tinggal cerita. Di pasar-pasar Palembang, patin dan tenggiri dari luar lebih mudah ditemui. Pempek belida asli makin jarang, harganya selangit, pasokannya terbatas, yang tersisa hanyalah nostalgia, dan tugu ikan raksasa yang berdiri bisu di tepian Musi.
Di Sungai Gerong, Yudi masih setia dengan kolamnya. Tiga belas tahun sudah ia merawatnya. Bagi Yudi, kolam itu bukan sekadar tempat budidaya, melainkan buku kenangan: berisi betok, sepat, gabus, beserta ikan-ikan masa kecilnya, dan kini bertambah ikan sisik perak serta sirip panjang bernama putak.
“Saya tidak ingin anak cucu hanya mengenal ikan lokal dan belida dari gambar,” ujarnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar