
Di balik lebatnya hutan hujan tropis di bentang alam Bukit Barisan Sumatera, satu makhluk bergerak dengan langkah pasti di tebing-tebing curam. Ia jarang menampakkan diri, lebih suka menyendiri, menuruni lereng berbatu dengan hati-hati. Bila siang, ia berdiam di semak-semak lebat atau di sela-sela batu kapur, biasanya di tebing yang menghadap lembah atau jurang. Malam hari, ia beristirahat di goa-goa yang tersembunyi tak jauh dari puncak bukit.
Makhluk yang satu ini adalah kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis), sang penikmat sepi. Aktivitas makannya pun teratur: pagi dan sore, hanya dua waktu itu. Musim kawin pun terbatas, Oktober dan November, selebihnya, ia kembali menyendiri.

Rabu, 27 Mei 2020, sepasang kambing hutan Sumatera terlihat di Taman Nasional Gunung Leuser. Penampakan ini jarang terjadi. Berdasarkan penelitian Endah Dwi Meirina dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, kambing ini menyukai hutan primer di ketinggian 200 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut. “Kambing hutan Sumatera adalah pendaki berkaki kokoh yang dapat menaklukkan tebing curam. Biasanya ia berlindung di semak belukar lebat pada siang hari, dan keluar mencari makan ke daerah yang lebih terbuka pada pagi hari,” tulis Endah dalam studinya pada 2006 di kawasan Danau Gunung Tujuh, Taman Nasional Kerinci Seblat.
Soal makanan, kambing hutan Sumatera hampir memakan semua jenis tumbuhan, tapi ia memiliki kesukaan khusus: daun-daun muda dan pucuk tertentu yang beraroma khas. Dari talas (Colocasia antiquorum), ketela pohon (Manihot utilissima), lidah-lidah (Bauhinia tomentosa), balik angin (Mallotus chinensis), hingga daun rigo-rigo (Elatostema latifolium).
Populasi kambing hutan tersebar di Taman Nasional Kerinci Seblat, Gunung Leuser, dan Bukit Barisan Selatan. Dahulu, persebarannya hampir merata di pegunungan dan dataran tinggi Sumatera. Namun, meski habitatnya sudah dipetakan, penelitian terkait jumlah populasi masih minim. Individunya sulit dijumpai, habitatnya susah dijangkau, dan indra penciuman, penglihatan, serta pendengarannya tajam. Kebiasaannya menyendiri menambah tantangan pengamatan.
Jika suatu saat bertemu manusia, kambing ini berhenti sejenak, menatap, lalu menuruni bukit menuju vegetasi lebat. Tanda bahaya bisa berupa embikan, raungan, atau siulan melengking yang aneh, sebuah bahasa alam yang sulit ditafsir.

Fisik kambing hutan Sumatera berbeda dengan kambing ternak. Tubuhnya kekar dan berotot, sekilas mirip anak kerbau. Bulu lebat dan kasar berwarna hitam keabuan, dengan tanduk ramping, pendek, lurus ke belakang, sepanjang 12–16 cm. Beratnya antara 50–140 kg, tinggi 85–94 cm. Perkembangbiakannya lambat: satu atau dua anak per kelahiran, dan umur hidup 10–20 tahun.
Kambing hutan Sumatera dilindungi sejak 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar Nomor 266 tahun 1931, diperkuat Undang-undang No.5 tahun 1990. Permen LHK Nomor P.106/2018 menegaskan statusnya sebagai satwa dilindungi. IUCN menetapkannya rentan (vulnerable), menghadapi risiko tinggi menuju kepunahan. CITES menempatkan kambing ini di Appendix I, yang melarang perdagangan.
Meski begitu, ancaman nyata masih ada. Kamis, 17 September 2020, seorang warga Bengkulu ditangkap karena menyimpan tanduk kambing hutan. Pelaku terancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta.
Bengkulu termasuk wilayah habitat kambing ini, khususnya Bukit Kelam dan Gunung Condong di Kabupaten Rejang Lebong. Dari laporan Universitas Bengkulu (2003) diketahui perburuan masif mengancam keberadaannya. Penurunan populasi dari tahun ke tahun mengindikasikan risiko kepunahan jika tidak ada intervensi.
Rocmah Supriati dan Hendri Tarigan menekankan perlunya sosialisasi kepada masyarakat serta penangkaran untuk konservasi, baik in situ maupun ex situ. “Segera lakukan langkah-langkah perlindungan agar kambing hutan Sumatera tidak hilang dari bentang alamnya,” tulis mereka.
Di hutan Sumatera yang lebat, di antara deru angin dan gemerisik daun, kambing hutan Sumatera tetap menyendiri. Ia mengajarkan ketenangan, kehati-hatian, dan keselarasan dengan alam. Sementara manusia terus belajar menghargai dan melindungi, makhluk ini tetap setia pada gaya hidupnya: penikmat sepi, pendaki tebing, penghuni goa, dan simbol hidup liar yang rapuh.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul: Kebiasaan Aneh Kambing Hutan Sumatera, Main di Tebing dan Menyendiri di Goa





Tinggalkan komentar