
Perubahan iklim bukan hanya soal naiknya suhu atau cuaca ekstrem. Dampaknya kini makin terasa di ranah kesehatan. Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti, mengingatkan bahwa perubahan pola iklim ikut menggeser ekologi vektor penyakit, mulai dari nyamuk hingga kutu, yang berujung pada meningkatnya risiko malaria, demam berdarah, chikungunya, dan zoonosis lainnya.
“Melalui forum ini, kita dapat memperbarui data sekaligus menyusun strategi pengendalian adaptif berbasis sains,” ujar Indi dalam webinar internasional “Climate Change and Its Impact on Vector Ecology, Zoonosis, and Control Strategies”, Selasa (16/9).
Peneliti Ahli Utama BRIN, Triwibowo Ambar Garjito, menambahkan bahwa 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dengan suhu rata-rata 27,5°C. Cuaca ekstrem, banjir rob, dan curah hujan tinggi menciptakan habitat baru bagi nyamuk, bahkan hingga dataran tinggi di atas 1.000 mdpl yang sebelumnya bebas malaria. Kelembaban tinggi juga mempercepat siklus hidup Aedes aegypti dan Aedes albopictus, sehingga ancaman demam berdarah kian meningkat.
Tak hanya nyamuk, satwa lain pun berperan. Arief Mulyono, Peneliti Ahli Muda BRIN, menyoroti penyakit yang ditularkan kelelawar dan tikus. Kelelawar menjadi reservoir virus berbahaya seperti nipah dan hendra, sementara tikus membawa lebih dari 80 jenis patogen. “Kasus leptospirosis sering melonjak pascabanjir besar akibat meningkatnya populasi tikus dan buruknya sanitasi,” ujarnya.
Ketua Perkumpulan Entomologi Kesehatan Indonesia (PEKI), Suwito, mengingatkan bahwa kondisi iklim tropis Indonesia sangat mendukung perkembangan vektor penyakit. Menurutnya, penelitian dan surveilans harus menjadi dasar mitigasi awal, namun tidak berhenti di laporan. “Hasil riset perlu ditindaklanjuti dengan intervensi nyata di lapangan,” tegasnya.
Sementara itu, Wahyu Pudji Nugraheni, Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, menekankan pentingnya sinergi lintas disiplin. Perubahan iklim telah mengubah pola penyebaran penyakit menular, sehingga kerja sama antara peneliti, akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan menjadi mutlak.
“Melalui basis data terkini dan jejaring internasional, hasil penelitian diharapkan menjadi pijakan intervensi yang tepat sasaran. Kolaborasi riset lintas negara akan memperkuat kapasitas respons Indonesia dalam menghadapi ancaman penyakit tular vektor dan zoonosis di masa depan,” pungkasnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar