
Suasana Gedung Pascasarjana Politeknik Negeri Bandung akhir pekan lalu terasa berbeda. Bukan seminar atau kuliah umum yang berlangsung, melainkan adu argumen sengit tentang iklim dan energi bersih. Generasi Energi Bersih (GEN-B) Bandung bersama Society of Renewable Energy (SRE) Polban menggelar National Intervarsity Climate and Energy Debating Championship (NICEDC) 2025 pada 6–7 September. Acara ini berlangsung dengan dukungan berbagai pihak, termasuk kerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR).
Kompetisi yang digelar dua hari itu menghadirkan 6 tim tingkat SMA dan 10 tim tingkat universitas se-Bandung Raya. Mereka berebut gelar juara sekaligus tiket menuju babak nasional. Format debat dibuat berbeda untuk tiap jenjang: Asian-Australian di level SMA, sementara universitas menggunakan British Parliamentary yang seluruhnya berlangsung dalam bahasa Inggris.
“Tema energi dan iklim dipilih untuk mengasah nalar kritis generasi muda, agar mereka terbiasa membaca persoalan transisi energi dari berbagai sudut,” ujar Achmad Rifal Maulidy, panitia pelaksana.

Debat Panas di Tingkat SMA
Hari pertama, 6 September, panggung diberikan untuk para pelajar SMA. Setiap tim beranggotakan tiga orang dengan peran berbeda: prime minister, deputy, dan government whip. Babak grand final mempertemukan duel seru.
Tim Tan Malaka dan Laskara dari SMA Laboratorium UPI saling bentrok memperebutkan posisi ketiga dengan mosi: “Dewan ini menyesali fokus pemanfaatan batu bara bagi energi dan perekonomian Indonesia.”
Sementara itu, perebutan juara pertama mempertemukan tim Trio Buru Buru dari SMAN 12 Bandung dan tim SMA PGII Bandung. Hasilnya, SMA PGII Bandung keluar sebagai juara pertama dengan skor telak 5-0 (287 SPKS), disusul SMAN 12 Bandung di posisi kedua (279 SPKS), dan Tan Malaka UPI di urutan ketiga (268 SPKS). Gelar best speaker jatuh kepada Alya Nurul Fadhilah dari SMA PGII Bandung.
Universitas: Pertarungan dalam Bahasa Inggris
Hari kedua, 7 September, giliran mahasiswa unjuk gigi. Sepuluh tim beradu argumen dalam format British Parliamentary. Grand final mempertemukan empat tim terbaik: Counterpointers, Energy Team Debate, Boobadop, dan Ciscuit Lotus.
Mosi yang diangkat: “Indonesia bisa mencapai kemandirian energi dengan mengandalkan panas bumi dan tenaga air.” Argumen pro dan kontra saling bertubrukan, dari potensi geothermal di Sabang hingga peluang hydropower di Kalimantan.

Dewan juri akhirnya menobatkan Ciscuit Lotus dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sebagai juara pertama dengan skor 7-2 (145 SPKS). Posisi kedua diraih Energy Team Debate dari Politeknik Manufaktur (141 SPKS), dan ketiga ditempati Boobadop dari Polban (139 SPKS). Predikat best speaker jatuh pada Zaenil Akmal Riwanto dari UPI dengan 72 poin.
Lebih dari sekadar kompetisi, NICEDC 2025 menjadi ruang belajar bersama. Para peserta bukan hanya berlatih bicara, tapi juga belajar menyelami kompleksitas energi bersih, dari politik batu bara hingga peluang energi terbarukan.
“Generasi muda harus punya keberanian mengkritisi sekaligus menawarkan solusi,” kata Zaenil.
Dengan berakhirnya babak regional Bandung Raya, dua tim terbaik dari masing-masing jenjang akan melaju ke tingkat nasional. Mereka membawa misi lebih besar: menunjukkan bahwa transisi energi bersih bukan hanya urusan teknologi, melainkan juga adu gagasan yang hidup di ruang publik.
***
Penulis: Amaturrahim Astutiningtyas, Evi Nur Azizah, & Kayla Syfa Nidia A.
Editor: Ahmad Supardi.





Tinggalkan komentar