Bambu tanaman yang cocok untuk kegiatan konservasi air dan menahan tanah longsor. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Kabut tipis masih menggantung di kaki Bukit Kaba ketika ayam berkokok memecah pagi Desa Batuampar, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu. Di kejauhan, suara air dari parit-parit kecil terdengar jernih, seperti musik alam yang tak pernah usai. Warga desa sibuk bersiap ke kebun, sebagian menyiapkan pikulan bambu untuk mengangkut hasil panen kopi.

“Air kami tidak pernah kering,” kata Herwan Iskandar, Kepala Desa Batuampar, sembari menunjuk deretan rumpun bambu yang tumbuh rapat di tepi sungai. “Di sini ada delapan mata air, bahkan beberapa air terjun. Itu semua karena bambu.”

Batuampar adalah desa kecil di ketinggian sekitar 800 meter di lereng Bukit Barisan. Luasnya sekitar 2.000 hektar, di mana 1.600 hektar masuk kawasan konservasi Taman Wisata Alam Bukit Kaba. Bagi warganya, bambu bukan sekadar tanaman liar. Ia adalah warisan leluhur, ditanam di jurang-jurang dan lereng curam sebagai benteng hidup penahan tanah.

“Sejak dulu orang tua kami menanam bambu untuk melindungi desa,” kata Herwan. “Benar saja, lereng kami tidak pernah longsor.”

Jalan di Desa Susup, Kabupaten Bengkulu Tengah, menuju Desa Ujan Mas, Kabupaten Kapahiang, terputus akibat longsor. Foto: Dokumentasi Forum DAS Bengkulu

Jejak Bencana di Tanah Bengkulu

Tak semua desa seberuntung Batuampar. Awal Januari 2020, langit Bengkulu seakan menumpahkan seluruh cadangan airnya. Hujan turun tiga hari berturut-turut, disertai angin kencang dan petir. Sungai-sungai meluap, membawa lumpur, batang kayu, dan bebatuan. Di beberapa tempat, tanah gunung melorot, menutup jalan raya.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, enam desa di Kabupaten Seluma terendam banjir: Tanjung Agung (13 rumah), Pagar Agung (40 rumah), Talang Tinggi (45 rumah), Lubuh (35 rumah), Talang Dantuk (11 rumah), dan Lubuk Lahan (5 rumah). Sementara longsor melanda Kabupaten Kaur, Bengkulu Tengah, dan Kapahiang.

“Setiap musim hujan, banjir dan longsor sudah seperti rutinitas di Bengkulu,” kata Rusdi Bakar, Kepala BPBD Provinsi Bengkulu. “Terutama di daerah yang hutannya gundul, tebingnya tak punya penahan tanah, alami maupun buatan.”

Di Seluma, banjir datang dini hari. Sarimah, warga Desa Talang Tinggi, masih ingat suara gemuruh air bercampur teriakan orang. “Kami panik. Barang-barang tak sempat diselamatkan. Air sudah sampai dada,” ujarnya.

Suaminya, Sarman, bergegas mengevakuasi anak-anak ke rumah tetangga yang lebih tinggi. Listrik padam. Di luar, air bercampur lumpur menghanyutkan ayam, kambing, bahkan sepeda motor. “Seumur hidup, saya belum pernah lihat air sebesar itu,” katanya.

Tiga hari setelah banjir surut, bau lumpur masih menyengat. Karung-karung berisi pakaian basah dijemur di halaman. Dinding rumah penuh bercak lumpur coklat. Di jalan, tumpukan kayu dan batu menutup akses antar-desa. “Kami lelah. Tapi mau bagaimana lagi, tiap musim hujan begini,” ujar Sarimah.

Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu, telah manjadikan bambu sebagai tanaman utama di wilayahnya. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID.

Lereng Gundul, Air Menerjang

Bagi BPBD, fenomena itu bukan hal baru. “Curah hujan tinggi memang pemicu utama longsor dan banjir. Tapi bencana tak akan separah itu kalau vegetasi di hulu masih utuh,” kata Rusdi.

Ketika pepohonan habis, air hujan tak lagi tertahan akar. Ia meluncur deras ke bawah, membawa tanah, batu, bahkan rumah warga. “Vegetasi di perbukitan adalah penahan alami. Begitu gundul, air langsung menghantam permukiman,” lanjut Rusdi.

Para peneliti menegaskan hal serupa. Enny Sudarmonowati, Deputi Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (saat ini: BRIN), menyebut bambu sebagai solusi sederhana tapi efektif. “Akar serabut bambu bisa menstabilkan tanah. Ia menyimpan air dan menjaga sumber mata air tetap hidup,” ujarnya.

Bambu, katanya, jauh lebih baik daripada pembetonan. “Beton hanya menutup permukaan tanah, tidak mencegah longsor. Kalau hujan deras, beton tetap bisa runtuh. Sementara bambu bisa menahan sekaligus menyimpan air,” katanya.

Selain fungsi ekologis, bambu juga memberi manfaat ekonomi. “Masyarakat bisa mengambil rebung, batangnya untuk bahan bangunan, hingga kerajinan. Jadi nilai ekologis dan ekonominya jalan beriringan,” ujar Enny.

Tahun 1990-an, Desa Batu Ampar penyuplai utama bahan kornet rebung untuk pabrik rebung di Tabarenah, Kabupaten Rejang Lebong. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID.

Warisan Leluhur dan Krisis Rebung

Kisah itu sudah terbukti di Batuampar. Pada 1990-an, desa ini dikenal sebagai penyuplai utama rebung ke pabrik pengolahan di Tabarenah, Kabupaten Rejang Lebong. Dari sana, kornet rebung diekspor hingga Jepang.

“Waktu itu, kami bisa panen satu ton rebung per hari,” kenang Herwan. “Tapi karena diambil besar-besaran, awal 2000-an rebung habis, pabrik bangkrut.”

Eksploitasi itu membawa dampak lain: tiga sumber mata air mengering. “Karena rumpun bambu ditebas habis, mata air ikut hilang,” katanya.

Kini, warga belajar dari pengalaman. Rumpun bambu kembali dibiarkan tumbuh di lereng, meski sebagian lahan sudah berganti kebun kopi. “Kalau semua bambu hilang, desa bisa bernasib sama seperti daerah lain yang banjir,” kata Amran, relawan BPBD Kapahiang asal Batuampar.

Warga Desa Batu Ampar, Amron menunjukkan rebung bambu yang masih menjadi sumber pernghasilan warga setempat. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID.

Kontras Dua Wajah

Perjalanan ke hutan sekitar Batuampar memperlihatkan kontras. Lereng-lereng yang dipenuhi rumpun bambu tampak hijau dan lembab, tanahnya kokoh. Air menetes pelan dari sela akar, meresap ke tanah, lalu muncul kembali sebagai mata air.

Namun di sisi lain bukit, rumpun bambu habis dibabat. Yang tersisa hanyalah batang kopi muda, rapuh menghadapi deras hujan. “Kalau mau berkebun kopi, silakan. Tapi jangan habiskan bambu di dekat sungai atau jurang,” kata Amran.

Kontras itu pula yang membedakan Batuampar dengan desa-desa di Seluma yang luluh lantak diterjang banjir Januari 2020. Di Batuampar, air sungai tetap jernih meski hujan deras. Di Seluma, air bah menghantam rumah-rumah hingga hanyut.

“Bambu adalah tembok hijau yang tak kelihatan. Tanpa itu, air bisa jadi monster,” kata Amran.

Banjir dan longsor di Bengkulu pada Januari 2020 menjadi cermin bahwa bencana bukan semata karena alam murka. Ada faktor ulah manusia yang ikut memperparah: penebangan hutan, alih fungsi lahan, hingga eksploitasi bambu tanpa batas.

Di tengah itu semua, Batuampar menyimpan pelajaran. Bahwa kearifan sederhana bisa jadi solusi: menanam bambu di lereng, menjaga aliran air, dan tidak serakah mengeksploitasi alam.

“Kalau kami kehilangan bambu, kami kehilangan hidup,” ujar Herwan pelan.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul: Siapa Bilang Tanaman Bambu Tidak Bermanfaat?

Tinggalkan komentar

Sedang Tren