Penyu hijau ditemukan mati terdampar di Pantai Tapak Paderi. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID.

Kejadian beruntun November 2019 di Bengkulu membuka tabir ancaman sampah dan limbah bagi penyu laut

Kabut pagi belum sepenuhnya pergi dari laut ketika Adrianto, seorang nelayan pinggiran Teluk Sepang, menemukan tubuh itu. Seekor penyu terdampar di pasir, kerapasnya sudah kaku, sisik yang biasanya berkilau kini kusam dikerumuni lalat. Ombak kecil hanya bisa menyapu separuh tubuhnya, seolah berusaha mengembalikan ia ke lautan, tempat yang tak lagi ramah.

“Dalam dua minggu ini, sudah lima ekor saya lihat mati di sini,” kata Adrianto, menunjuk garis pantai yang tak jauh dari cerobong raksasa PLTU Teluk Sepang. “Tapi baru dua yang sempat kami laporkan.”

Kabar bangkai penyu ini cepat berembus. Di warung kopi pinggir pantai, warga membicarakannya dengan nada cemas. Pegiat lingkungan datang, mahasiswa berdiskusi, BKSDA turun tangan. Hanya dalam waktu kurang dari dua pekan, empat bangkai penyu tercatat resmi terdampar di pesisir Bengkulu: Pantai Panjang, Teluk Sepang, dan Tapak Paderi.

Penyu sisik, penyu hijau, dua spesies purba yang selama jutaan tahun bertahan hidup di samudra luas, tiba-tiba tak berdaya di tepi pantai.

Kematian Beruntun

Kasus pertama terjadi Kamis malam, 31 Oktober 2019. Aktivis Yayasan Lestari Alam untuk Negeri (Latun) menemukan seekor penyu sisik (Eretmochelys imbricata) mati di Pantai Panjang. Tubuhnya segera dibawa ke Laboratorium Kelautan Universitas Bengkulu untuk nekropsi.

Belum sempat hasil keluar, kabar duka lain menyusul. Ahad, 10 November 2019, seekor penyu kembali ditemukan mati di Pantai Teluk Sepang, berjarak hanya beberapa ratus meter dari titik pembuangan limbah PLTU batubara yang sedang uji coba turbin. Pada waktu bersamaan, warga juga mendapati ikan-ikan kecil terapung, mati berkelompok.

Esok harinya, seekor penyu hijau (Chelonia mydas) terdampar di Pantai Tapak Paderi. Bangkainya yang berukuran 54 x 51 sentimeter langsung diamankan BKSDA.

Selang sepekan, bangkai keempat muncul. Kali ini, warga Teluk Sepang menyerahkan penyu mati ke BKSDA. Kepala BKSDA Bengkulu, Donal Hutasoit, mengaku khawatir. “Selama ini tidak pernah ada kematian penyu beruntun. Apalagi sampai empat ekor dalam dua pekan,” ujarnya.

Adrianto, sang nelayan, meyakini jumlahnya lebih banyak. “Yang benar-benar terdata baru sebagian. Ada bangkai yang hilang terbawa ombak sebelum sempat dilaporkan,” katanya.

Sampah plastik ditemukan dalam tubuh penyu yang mati itu. Foto: Ari Anggoro/ Dosen Universitas Bengkulu.

Perut yang Penuh Plastik

Untuk mencari kepastian, BKSDA bersama Universitas Bengkulu melakukan nekropsi. Hasilnya mencengangkan. Dari lambung penyu sisik yang ditemukan di Pantai Panjang, tim ahli menemukan bukan hanya sisa makanan alami seperti kepiting, cangkang kerang, dan alga. Ada plastik ukuran besar dan kecil, potongan jaring karung, hingga busa puntung rokok.

“Di perut satwa purba itu, laut ternyata hanya meninggalkan sampah,” kata seorang peneliti yang ikut membedah.

Pada penyu lain, isi usus menunjukkan karet dan potongan seng kecil. Tidak ditemukan luka luar. Dugaan menguat: selain terjerat alat tangkap nelayan, penyu-penyu Bengkulu mati karena racun sampah dan limbah yang mencemari laut.

“Ini belum final. Ada kemungkinan faktor kimia dari pembuangan limbah PLTU. Perlu pemeriksaan laboratorium lebih lanjut,” kata Donal Hutasoit.

Satwa Kuno yang Terancam

Di dunia, hanya ada tujuh spesies penyu laut. Enam di antaranya memilih perairan Indonesia sebagai rumah: penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, penyu pipih, penyu tempayan, dan penyu belimbing.

Di Bengkulu, setidaknya empat jenis kerap mendarat untuk bertelur: penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, dan penyu belimbing. “Mereka bagian penting ekosistem laut. Kalau penyu hilang, rantai makanan terganggu,” kata Zamdial Ta’aladin, dosen kelautan Universitas Bengkulu.

Namun ancaman terhadap penyu semakin nyata. International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan penyu sisik berstatus Kritis (Critically Endangered), selangkah menuju kepunahan. Penyu hijau berstatus Genting (Endangered). Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) sudah melarang segala bentuk perdagangan penyu.

Di Indonesia, perlindungan hukum datang lewat Permen LHK No. P.106/2018. Namun di lapangan, ancaman bukan hanya perburuan, melainkan juga sampah plastik, jaring nelayan, hingga limbah industri.

Penyu laut tercncaman sampah dan limbah. Foto: Freepik.

Sampah dari Darat, Racun dari Laut

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah DLHK Bengkulu, Zainubi, mengakui laut di sekitar Kota Bengkulu dipenuhi plastik. “Sampah ini terbawa arus sungai dan selokan. Produksi sampah Kota Bengkulu mencapai 312 ton per hari,” katanya.

Dari pemantauan, anak sungai yang mengalir ke laut membawa botol plastik, styrofoam, hingga limbah rumah tangga. Ditambah, kapal-kapal yang melintas di Samudra Hindia tak jarang membuang sampah langsung ke laut.

Ketika plastik menyerupai ubur-ubur, penyu mengira itu makanan. Mereka menelan, dan perutnya tak lagi bisa mencerna. “Sekali masuk, hampir mustahil keluar,” jelas Zamdial.

Di Teluk Sepang, persoalan lain muncul. Uji coba PLTU batubara berkapasitas 2×100 MW itu menimbulkan pembuangan air bahang, limbah cair bersuhu tinggi bercampur bahan kimia. Warga mencium bau menyengat, melihat busa tebal di laut. Nelayan khawatir laut menjadi kuburan sunyi bagi ikan dan penyu.

Perlawanan dari Pesisir

Di tepi pantai, kelompok-kelompok warga mencoba melawan dengan cara mereka. Ada Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara di Pekik Nyaring, Yayasan Latun di Tapak Paderi, kelompok konservasi penyu di Ipuh, hingga Retak Ilir di Mukomuko.

Mahasiswa Universitas Bengkulu membentuk Marine Science Turtle Club (MSTC). Mereka rutin patroli, menyelamatkan telur penyu, dan mengedukasi warga.

“Kerja penyelamatan penyu tidak bisa sendirian. Harus kolaborasi: pemerintah, masyarakat, pegiat lingkungan, nelayan,” kata Paventri Prayogi dari Yayasan Latun.

Namun kerja-kerja kecil itu sering terasa seperti melawan arus besar. Di satu sisi, pemerintah mendorong konservasi. Di sisi lain, proyek raksasa seperti PLTU terus berdiri di bibir pantai yang sama.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Kurang Dua Pekan, Tiga Penyu Ditemukan Mati di Bengkulu dan Penyu Mati di Bengkulu Bertambah. Penyebabnya, Selain Sampah Plastik Ada Dugaan Akibat Limbah

Tinggalkan komentar

Sedang Tren