
Telepon genggam di meja kerja Christine Wulandari jarang benar-benar diam. Nada deringnya bisa berbunyi kapan saja, pagi, siang, bahkan malam. Bukan karena urusan keluarga atau sekadar basa-basi. Melainkan suara para petani dari Lampung Barat yang mengadu: tentang kopi yang daunnya menguning, bibit yang sulit tumbuh, sampai sengketa lahan yang membuat dada mereka sesak.
“Kadang mereka bukan cuma cerita soal tanaman, tapi juga curhat kehidupan,” ujar Christine, sambil tersenyum.
Bagi para petani perhutanan sosial di Lampung Barat, Christine, 57 tahun, bukan hanya dosen Kehutanan di Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Ia adalah penopang semangat, tempat bertanya, bahkan sosok ibu yang selalu bersedia mendengarkan. “Seperti dokter bagi kami,” kata seorang petani.

Jejak di Desa, Ikatan yang Tak Lepas
Ikatan itu bermula puluhan tahun lalu. Sebagai pembimbing mahasiswa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), Christine kerap mendampingi mereka masuk ke desa-desa, berjumpa dengan kelompok tani. Dari obrolan ringan soal arisan kerja dan tanam padi, sampai rapat kecil mengatur hasil panen, Christine menemukan satu hal: masyarakat punya kearifan mengelola hutan, yang sayangnya sering tak terdengar oleh para pemangku kebijakan.
Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati di Desa Tri Budi Sukur adalah salah satu contoh nyata. Berawal dari kegiatan sederhana seperti mutil kopi dan simpan pinjam, kelompok ini tumbuh menjadi komunitas tangguh. Berkat pendampingan yang konsisten, mereka berhasil meraih berbagai penghargaan dari ketahanan pangan hingga Kalpataru. “Semua berawal dari komunikasi, dari mahasiswa yang datang, lalu berlanjut hingga kini menjadi persahabatan,” tutur Christine.
Lebih 30 tahun Christine mengabdi di kampus. Tapi ia selalu meyakini bahwa menara gading tidak boleh berdiri sendiri. Kampus, katanya, harus bersetia kawan dengan masyarakat. Karena itu, ia membawa mahasiswanya turun ke lapangan, meneliti bersama petani, mendengar, dan belajar.
“Tujuannya sederhana, agar kampus dan masyarakat bisa saling belajar mengelola pertanian dan hutan, meningkatkan pendapatan, tanpa harus merusak nilai ekologis,” ujarnya.
Bagi Christine, hutan adalah sumber kehidupan. Mengelolanya tidak boleh serampangan, apalagi eksploitatif. “Hutan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tapi tanpa merusak nilai ekologinya,” tegasnya.
Dari Pramuka Menjadi Guru Besar dengan Hati Desa
Kecintaan Christine pada alam berakar sejak masa kecil. Pramuka menjadi gerbang pertama: berkemah, outbound, dan berinteraksi dengan alam menanamkan rasa ingin tahu yang mendalam. Dari situlah minat itu tumbuh menjadi jalan hidup.
Ia menempuh pendidikan doktor di University of the Philippines Los Baños, mendalami manajemen sumber daya hutan. Jejaknya lalu merambah dunia internasional: pelatihan di Guatemala, Swedia, India, Nepal, hingga Australia. Ia juga terlibat di berbagai organisasi: Wakil Ketua Masyarakat Agroforestri Indonesia, Dewan Penasehat Komunitas Manajemen Hutan Indonesia, hingga anggota Civil Society Advisory Group ITTO di Jepang.
Meski segudang gelar akademik disandangnya, Christine memilih tetap membumi. Baginya, puncak pencapaian seorang akademisi bukanlah deretan titel atau publikasi, melainkan ketika riset dan pengabdian bisa memberi arti nyata bagi masyarakat.
Sejak 2013, Christine memimpin Program Magister Kehutanan Universitas Lampung. Ia sudah menyelesaikan puluhan penelitian, menulis puluhan artikel ilmiah, dan menerbitkan belasan buku tentang manajemen hutan. Pada 22 September 2021, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Hutan.
Namun di balik toga kehormatan itu, telepon genggamnya tetap akan berdering. Selalu ada petani yang butuh didengar. Selalu ada cerita baru dari hutan yang harus dijaga.
Christine tahu, modernitas bisa berjalan beriringan dengan kearifan lokal. Ia percaya, masyarakat adalah guru yang tak kalah penting dibanding buku teks. Karena itu, selama hutan masih berdiri, ia akan terus hadir di tengah mereka.
“Pengelolaan hutan itu bukan hanya soal kayu atau lahan,” katanya pelan. “Ia soal kehidupan, soal masa depan kita semua.”
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan di Pejuang Iklim dengan judul Christine Wulandari, Tempat Curhat Para Petani Hutan





Tinggalkan komentar