Energi bersih adalah energi yang dihasilkan tanpa menghasilkan emisi karbon atau dengan emisi yang sangat rendah. Foto: Freepik

Bayangkan sebuah kota di siang hari. Jalanan panas terpanggang, kendaraan bermotor berdesakan, asap knalpot menebal di udara. Suhu terasa lebih terik dari biasanya. Fenomena ini bukan lagi cerita fiksi. Laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada 2023 mencatat, suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 1,1 derajat Celsius sejak era pra-industri. Kenaikan sekecil ini sudah cukup untuk memicu gelombang panas, hujan ekstrem, hingga mencairnya es di kutub.

Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana cara kita menahan laju perubahan iklim ini? Jawaban paling nyata adalah dengan mengubah cara kita memproduksi dan menggunakan energi. Di sinilah peran energi bersih menjadi kunci.

Energi Bersih dan Energi Hijau

Energi bersih adalah energi yang dihasilkan tanpa menghasilkan emisi karbon atau dengan emisi yang sangat rendah. Sumbernya beragam: tenaga surya, angin, air, panas bumi, hingga biomassa. Bahkan energi nuklir sering dimasukkan ke dalam kategori ini karena emisi karbonnya hampir nol.

Sedangkan energi hijau merupakan bagian dari energi bersih yang berasal dari sumber terbarukan dan ramah lingkungan. Panel surya di atap rumah, turbin angin di tepi pantai, atau mikrohidro di desa pegunungan termasuk dalam energi hijau. Sederhananya, semua energi hijau adalah energi bersih, tetapi tidak semua energi bersih disebut hijau.

Lebih dari 70 persen emisi karbon global berasal dari sektor energi, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. Foto: Freepik

Energi Bersih sebagai Solusi Perubahan Iklim

Hubungan antara energi bersih dan perubahan iklim sangat jelas. Lebih dari 70 persen emisi karbon global berasal dari sektor energi, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. Angka ini disampaikan oleh International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Outlook 2021. Artinya, jika kita bisa mengganti sumber energi kotor dengan energi bersih, maka kita langsung menekan penyebab utamanya.

Energi bersih membantu memangkas emisi karbon dalam jumlah besar. Pembangkit listrik tenaga surya atau angin, misalnya, dapat mengurangi jutaan ton emisi setiap tahunnya dibandingkan pembangkit berbahan bakar batu bara. Selain itu, teknologi energi bersih juga lebih efisien. Kendaraan listrik mampu mengubah energi ke tenaga lebih baik dibandingkan kendaraan bensin.

Transisi energi juga membuat sebuah negara lebih mandiri. Matahari, angin, dan air ada di sekitar kita. Menggunakannya berarti mengurangi ketergantungan pada impor minyak atau batu bara. Dan jangan lupa, energi hijau turut mendorong pertumbuhan ekonomi baru. Dari teknisi panel surya, perakit turbin, hingga insinyur baterai, transisi energi membuka banyak peluang kerja.

Tantangan di Tengah Transisi

Meski menjanjikan, transisi energi tidak mudah. Biaya pembangunan infrastruktur energi bersih sering kali masih tinggi. Pembangkit listrik tenaga surya skala besar memang murah dalam operasional, tetapi butuh investasi awal yang besar.

Ada pula masalah intermitensi. Matahari tidak selalu bersinar, angin tidak selalu berhembus. Karena itu, teknologi penyimpanan energi lewat baterai dan kombinasi dengan sumber lain menjadi kunci. Tantangan lain adalah ketergantungan teknologi. Banyak negara berkembang masih mengimpor peralatan energi bersih, sementara kemandirian teknologi penting agar transisi berjalan lebih cepat dan lebih adil.

Jalan Menuju Masa Depan

Meski penuh tantangan, arah ke depan sudah jelas: energi bersih adalah masa depan. Uni Eropa menargetkan net zero emission pada 2050. Indonesia pun sudah memasukkan transisi energi dalam kebijakan nasional. Menurut Kementerian ESDM, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

Program seperti Desa Energi Berdikari yang digagas Pertamina NRE menunjukkan bahwa energi hijau tidak hanya untuk kota besar. Desa-desa terpencil kini bisa menikmati listrik dari panel surya atau mikrohidro. Energi bersih tak hanya melawan perubahan iklim, tetapi juga membuka akses dan keadilan energi.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren