
Di balik rimbun pepohonan Gunung Tompotika, Sulawesi Tengah, jebakan hidup para peneliti suatu pagi menangkap seekor tikus hutan yang tampak berbeda. Tubuhnya sedang, ekor lebih pendek dari panjang badan, bulu rapat dengan tekstur khas. Dari spesimen sederhana itu, lahirlah kabar besar: dunia sains kini mengenal spesies baru bernama Crunomys tompotika.
Penemuan ini diumumkan tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama mitra internasional dari Amerika Serikat, Australia, Prancis, dan Malaysia. Lebih dari sekadar menambah daftar panjang fauna endemik Sulawesi, riset ini juga mengubah peta taksonomi mamalia Asia Tenggara.
Bukti “Laboratorium Alami” Evolusi
“Penemuan ini menambah daftar panjang mamalia endemik Sulawesi yang terus bertambah seiring eksplorasi lapangan yang lebih intensif,” kata Anang Setiawan Achmadi, peneliti PRBE BRIN, Jumat (30/8).
Sulawesi, dengan sejarah geologinya yang unik, kerap dijuluki “laboratorium alami” evolusi mamalia. Sejak 2012, lebih dari 20 spesies baru mamalia telah dideskripsikan dari pulau ini, menjadikannya pusat perhatian riset biodiversitas dunia.

Revisi Taksonomi Global
Riset yang dipublikasikan di Journal of Mammalogy pada 13 Juni 2025 itu juga membawa gebrakan besar: seluruh spesies Maxomys, tikus berduri (spiny rats) yang sebelumnya dianggap genus tersendiri, kini resmi dipindahkan ke dalam Crunomys.
“Analisis ribuan penanda DNA, termasuk data genomik resolusi tinggi, menunjukkan Maxomys tidak membentuk kelompok yang utuh. Karena itu, revisi ini paling tepat untuk mencerminkan hubungan evolusi sebenarnya,” jelas Anang.
Pentingnya Eksplorasi, Kolaborasi dan Konservasi
Habitat Crunomys tompotika terletak di hutan pegunungan alami Tompotika, kawasan dengan vegetasi lebat yang relatif masih terjaga. Kehadiran spesies baru ini memperlihatkan pentingnya eksplorasi lapangan yang berkelanjutan dan kerja sama internasional.
“Penemuan Crunomys tompotika menjadi bukti nyata bahwa masih banyak kekayaan hayati Indonesia yang menunggu untuk dipelajari lebih dalam,” ujar Anang.
Kolaborasi lintas negara memungkinkan pemanfaatan teknologi genomik mutakhir serta memperluas cakupan data biogeografi. Dengan begitu, sejarah evolusi mamalia Asia Tenggara bisa dipahami lebih komprehensif.
Lebih dari sekadar temuan ilmiah, Crunomys tompotika membuka peluang penelitian lanjutan mengenai ekologi dan perannya dalam ekosistem hutan pegunungan.
“Data ini diharapkan menjadi pijakan penting untuk memperkuat kebijakan konservasi sekaligus memacu riset lanjutan dalam mendokumentasikan kekayaan hayati Indonesia,” pungkas Anang.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar