
Amplop tebal itu tergeletak di kursi ruang rapat. Adrian Chandra Faradhipta baru saja menyelesaikan pertemuan dengan vendor yang memenangkan tender secara fair. Saat hendak beranjak, matanya menangkap benda mencurigakan itu.
“Pak Adrian, itu memang untuk Bapak. Titipan bos saya, sebagai bentuk apresiasi,” ujar perwakilan vendor sambil tersenyum.
Adrian terdiam sejenak. Wajahnya memerah, antara marah, kaget, sekaligus tersinggung. Tapi ia memilih menahan diri. Dengan tenang, ia menjawab, “Maaf, Mbak. Di sini tidak boleh ada amplop-amplopan seperti itu. Perusahaan Anda sudah menang tender secara fair, tidak perlu ada tambahan seperti ini.”
Ia lalu melaporkan kejadian itu ke atasannya. Bukan sekali dua kali, godaan serupa datang: ada yang menawarkan barang, voucher, bahkan jalan-jalan ke luar negeri. Di titik-titik itulah, pesan manajer pertamanya, Gandy Budhiman, selalu terngiang:
“Industri migas ini kecil, Adrian. Sekali saja integritasmu tercoreng, orang akan terus meragukanmu.”
Hari ini, Adrian menjabat sebagai Regional Sourcing Lead di bp Malaysia, menapaki satu dekade lebih di dunia pengadaan hulu migas. Tapi jalan menuju titik ini jauh dari lurus.
Dari Juara Kelas ke Jalan Berliku
Di atas kertas, perjalanan Adrian semestinya mulus. Anak kelas akselerasi di SMA Plus Negeri 17 Palembang, langganan juara sejak SD, nilai ujian cemerlang, hingga sempat ditawari beasiswa parsial di Malaysia. Namun idealismenya bulat: Teknik Perminyakan ITB, atau tidak sama sekali.
Allah berkehendak lain. Dua kali mencoba, dua kali gagal.
“Saya stres berat, merasa bodoh. Apalagi lihat teman-teman sudah kuliah di kampus ternama, dalam dan luar negeri,” kenangnya.
Adrian akhirnya masuk Politeknik Negeri Bandung (POLBAN), jurusan Akuntansi Manajemen Pemerintahan, bukan teknik, bukan ITB. Semula hanya sambil menunggu tes ulang. Tapi gagal lagi. Di titik itulah, Adrian belajar menerima.
“Mungkin ITB bukan jalan saya,” ujarnya.

Justru di Ciwaruga, Adrian menemukan jalannya. Ia total: aktif di organisasi, jadi Ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa, menang lomba hingga keliling Indonesia dan luar negeri, bahkan sempat student exchange ke Izmir, Turki. Ia lulus sebagai lulusan terbaik, berdiri di podium sebagai valedictorian mewakili teman-teman saat wisuda.
Selepas itu, jalannya kembali bersinggungan dengan ITB, kali ini lewat jalur berbeda: program MBA di School of Business and Management (SBM ITB). Namanya terpampang di berbagai media sebagai wajah SBM.
Karier pun tak langsung mulus. Pernah hampir dikirim ke Denmark, pernah gagal di detik akhir seleksi perusahaan, pernah coba bisnis tapi berhenti di tengah jalan. Hingga akhirnya, pintu terbuka lewat Saka Graduate Program di Saka Energi Indonesia. Dari lebih 7.000 pelamar, hanya sekitar 20 yang diterima. Dari sanalah karier Adrian di industri hulu migas dimulai.
Tegak di Jalan Integritas
Sepanjang perjalanan itu, satu hal yang tak pernah ia lepaskan adalah integritas. Di perusahaan sebelumnya, token sederhana seperti kalender atau payung masih diperbolehkan asal bernilai wajar. Namun di bp, aturannya lebih ketat: hadiah sekecil apa pun harus dikonsultasikan ke tim Ethics & Compliance. Jika melanggar, sanksinya bisa pemutusan kontrak hingga pemecatan.
“Integritas bukan cuma aturan di kertas, tapi napas sehari-hari. Sekali hilang, sulit kembali,” kata Adrian.
Kini, di ruang digital seperti LinkedIn, Adrian sering berbagi refleksi. Tentang karier, tentang keberanian untuk putar haluan, atau tentang menjaga nilai dalam hidup. Tulisannya sederhana, tapi menyentuh banyak orang, karena lahir dari pengalaman nyata.
Dari kelas akselerasi di Palembang, bangku kuliah di Ciwaruga, podium wisuda, hingga ruang rapat di bp Malaysia, jejak Adrian dipenuhi liku-liku. Namun garis merahnya jelas: belajar dari gagal, teguh di jalan benar, dan menjaga integritas.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.






Tinggalkan komentar