
Bulan Agustus pergi. Namun sebagian bendera merah putih tetap berkibar di jalan-jalan, dari tiang bambu di gang sempit hingga di tiang-tiang besi di depan gedung-gedung tinggi di kota besar. Di beberapa kota, perayaan juga bersisian dengan demonstrasi, ketika ribuan orang turun ke jalan menyuarakan aspirasi tentang keadilan sosial, hingga menolak kesewenangan pejabat pemerintah dan wakil rakyat. Lagu-lagu perjuangan pun mengalun, dengan riuh persiapan lomba tujuh belasan dan gemerlap parade di layar televisi, berpadu suara teriakan mahasiswa dan rakyat yang meminta keadilan. Lampu sorot dan LED raksasa menyiarkan kegembiraan kemerdekaan, bersamaan barisan panjang demonstrasi di penjuru negeri, menandai kemerdekaan yang dirayakan dengan suka sekaligus duka.
Namun, di balik gegap gempita itu, sebagian pelosok negeri masih berada dalam kegelapan. Bukan karena listrik padam, melainkan karena terang memang belum sampai. Pemerintah mencatat rasio elektrifikasi (RE) pada 2023 telah mencapai 99,78 persen, sementara rasio desa berlistrik (RD) sebesar 99,83 persen. Angka itu seolah menyatakan hampir semua rumah tangga dan desa telah tersambung jaringan listrik. Tetapi mengejar 100 persen bukan perkara mudah. Banyak desa berada di wilayah terpencil dengan biaya penyambungan yang mahal. Kementerian ESDM memperkirakan dana Rp22,08 triliun dibutuhkan untuk menutup kekurangan tersebut.
Di lapangan, masalah bukan hanya soal sambungan, tetapi juga kualitas pasokan. Di sejumlah daerah, listrik tidak tersedia penuh dalam sehari, bahkan kadang hanya cukup untuk menyalakan lampu penerangan dasar. Ketimpangan paling terasa di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Meski di atas kertas “berlistrik”, kenyataan di lapangan kerap lain. Warga masih bergantung pada pelita, lampu minyak, bahkan genset solar. Di Alor, Nusa Tenggara Timur, puluhan keluarga hidup dalam gelap gulita, mengandalkan pelita dan generator dengan biaya tinggi.
Sementara itu, ketergantungan Indonesia pada energi fosil menghadirkan konsekuensi serius bagi lingkungan. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23 persen pada 2025, sesuai Kebijakan Energi Nasional (RUEN). Tetapi hingga 2023, realisasi baru sekitar 13,1 persen, jauh dari target. Strategi percepatan mutlak diperlukan, mulai dari mempercepat pembangunan pembangkit energi bersih hingga mendorong penyederhanaan perizinan.
Meski begitu, ada cahaya kecil yang mulai menyala di pelosok negeri. Program microgrid berbasis energi terbarukan, seperti panel surya komunitas di beberapa desa terpencil, membawa terang yang benar-benar bermakna. Lampu bukan sekadar menerangi, tetapi memungkinkan anak-anak belajar malam hari, dapur yang bisa dipakai kapan saja, hingga usaha lokal tumbuh tanpa asap genset.
PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bersama perusahaan nasional maupun swasta lainnya, telah berupaya menjadi bagian dari cahaya harapan itu. Melalui program Desa Energi Berdikari (DEB), Pertamina NRE membangun pembangkit energi bersih di 98 desa di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang total 536,74 kilowatt-peak (kWp). Hasilnya mulai terlihat.
Di Kampung Malasigi, Papua Barat, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) membuat warga tidak lagi bergantung pada 20–25 liter BBM per hari untuk kebutuhan listrik dan air. Sementara di Minahasa, Sulawesi Utara, para peternak kini memanfaatkan biogas untuk menerangi kandang. Lampu kandang menyala semalaman tanpa biaya pulsa atau solar, sehingga mereka dapat menekan pengeluaran sekaligus menabung untuk mengembangkan usaha.
Kisah-kisah ini memberi harapan bahwa ke depan, semakin banyak daerah terpencil yang akan merasakan manfaat energi terbarukan. PLTS, biogas, dan teknologi bersih lainnya bisa menjadi jalan untuk menghadirkan terang yang berkeadilan, dengan dukungan kuat dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Peringatan ulang tahun ke-80 kemerdekaan menjadi saat yang tepat untuk mengikrarkan kemerdekaan baru, merdeka dari kegelapan yang tak adil. Keadilan energi bukan hanya tentang statistik elektrifikasi, melainkan kepastian bahwa listrik yang andal, terjangkau, dan bersih menjangkau seluruh pelosok negeri. Saat malam menjadi terang dan udara tetap segar, barulah kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Peringatan kemerdekaan tak boleh lagi bersisian dengan teriakan ketidakadilan dan luka pengabaian.
***
Ahmad Supardi, Pegiat Komunikasi & Media di SustainergyID.





Tinggalkan komentar