Gunung Tangkuban Perahu. Foto: Wikipedia.

Nama Sesar Lembang mungkin sudah akrab di telinga warga Jawa Barat. Membentang sepanjang hampir 29 kilometer, dari Padalarang hingga Cimenyan, patahan ini berada tepat di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Namun, sesar bukan hanya garis abstrak di peta, ia nyata, terlihat di lapangan, dan pelan-pelan terus bergerak.

“Bukti paling jelas adalah pergeseran Sungai Cimeta yang bergeser hingga 120 meter, bahkan di beberapa titik mencapai 460 meter,” kata Mudrik R. Daryono, Peneliti Geologi Gempa Bumi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam wawancara dengan tim Humas BRIN, Kamis (28/8).

Bergerak Milimeter, Berdampak Besar

Riset terbaru menunjukkan, Sesar Lembang bergerak dengan kecepatan 1,9–3,4 milimeter per tahun. Angka ini mungkin terdengar kecil, tetapi akumulasi pergeseran selama ratusan tahun bisa memicu gempa besar.

Hasil penelitian paleoseismologi, kajian jejak gempa purba, membuktikan hal itu. Di kilometer 11,5 jalur sesar, ditemukan pergeseran tanah setinggi 40 sentimeter. Bukti ini menandakan pernah terjadi gempa bermagnitudo sekitar 6,5 hingga 7. “Panjang Sesar Lembang yang mencapai 29 kilometer memang sebanding dengan potensi gempa sebesar itu,” jelas Mudrik.

Sejarah menunjukkan, gempa besar di jalur ini sudah berulang kali terjadi. Catatan paling muda diperkirakan pada abad ke-15, sebelumnya sekitar 60 SM, dan lebih jauh lagi sekitar 19 ribu tahun lalu. Dari pola itu, siklus gempa besar Sesar Lembang diperkirakan berulang tiap 170 hingga 670 tahun. “Secara teoritis, gempa berikutnya bisa terjadi paling lambat sekitar tahun 2170. Itu berarti waktunya sudah relatif dekat dengan masa kita,” tambahnya.

Gunung Batu Lembang. Foto: Octagon Indonesia

Gunung Batu Naik Puluhan Sentimeter

Salah satu bukti morfologi paling kentara berada di Gunung Batu, Lembang, tepat di kilometer 17 jalur sesar. Lokasi ini menjadi saksi bagaimana pergeseran sesar mengangkat permukaan tanah. “Gunung Batu bisa naik hingga 40 sentimeter dalam sekali kejadian gempa. Naiknya tanah ini adalah bagian dari energi sesar yang dilepaskan,” jelas Mudrik.

Gempa-gempa kecil yang beberapa waktu terakhir tercatat di sekitar Bandung, khususnya di segmen Cimeta dan Sesar Kertasari, menurutnya adalah hal lumrah. Bisa jadi hanya pelepasan energi kecil yang berhenti begitu saja, atau bagian dari proses yang kelak diikuti gempa lebih besar. “Ilmu kebumian belum bisa memastikan skenario mana yang akan terjadi. Karena itu, kewaspadaan tetap harus dijaga,” katanya.

Ilmu Bukan untuk Menakutkan

BRIN bersama BMKG, BPBD, dan pemerintah daerah terus melakukan riset, pemetaan, hingga edukasi publik soal Sesar Lembang. Tujuannya bukan untuk menebar cemas, melainkan membangun kewaspadaan.

“Pemahaman ilmiah ini penting agar masyarakat siap menghadapi potensi bencana,” tegas Mudrik. Dengan riset berkelanjutan, kesiapsiagaan yang baik, dan keterlibatan masyarakat, Bandung dan Jawa Barat bisa menjadi wilayah yang lebih tangguh menghadapi ancaman gempa di masa depan.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren