
Pagi itu, seorang lelaki berkaus sederhana berjalan menyusuri pematang sawah. Wajahnya keras, kulitnya legam terbakar matahari. Dialah Kohapa, pria kelahiran Desa Pajar Bulan, 57 tahun silam. Setiap kali menatap aliran air yang melewati sawahnya, ingatannya selalu kembali pada dua peristiwa yang menorehkan luka kolektif warga Semende.
“Kalau air ini berhenti, kami sudah tahu akibatnya,” ucapnya lirih, sembari menunjuk saluran irigasi yang menderas.
Tahun 1970. Kekeringan panjang melanda Semende Darat Ulu. Sawah-sawah mengering, batang padi rebah tak berisi, panen gagal total. Paceklik memaksa banyak keluarga meninggalkan desa untuk mencari penghidupan di luar kampung. Kohapa, kala itu baru berusia dua tahun, tak mengalami langsung getirnya. Tapi kisah itu diulang-ulang oleh para tetua, menjadi ingatan yang diwariskan turun-temurun.
Dua dekade kemudian, sejarah kelam itu terulang. Tahun 1993, kekeringan kembali menjerat desa. Mata air dari hulu mengecil, sebagian kering sama sekali. Sawah retak, ladang tak berbuah. Kohapa, yang sudah dewasa, merasakan langsung getirnya. “Saat itu saya baru tinggal di Talang Pelakat. Hasil panen nihil, ekonomi macet,” kenangnya.
Dua kali disapa bencana, ia pun paham betapa kehidupan mereka sepenuhnya bergantung pada sumber mata air. “Kalau hutan di sekitar mata air habis, kami habis,” katanya.

Dari Obrolan ke Aksi
Kesadaran itu tak berhenti jadi keluhan. Kohapa mulai mengamati hulu sungai di sekitar desanya. Ia melihat pohon-pohon di sekitar mata air banyak yang dibabat. Tanah terbuka, air berkurang. Lalu ia berbincang dengan para petani lain yang juga mengandalkan irigasi dari aliran hulu.
Dari diskusi sederhana di saung, lahirlah kesepakatan: mereka harus menjaga hutan di sekitar mata air. Tahun 1990-an, terbentuklah kelompok bernama Datuk Siring. Anggotanya petani-petani yang rela bergiliran menjaga hulu. Setiap bulan mereka mengecek kondisi hutan, memastikan tak ada perambahan, dan menanami kembali lahan-lahan gundul.
“Hasilnya terasa cepat,” kata Kohapa. “Air kembali deras, sawah tak lagi kekeringan.”
Keberhasilan Talang Pelakat menular ke desa lain. Petani-petani di sekitar ikut meniru. Dari sebuah kampung kecil, Talang Pelakat kemudian resmi ditetapkan menjadi Desa Pelakat pada 2007. Kohapa dipilih menjadi kepala desa pertama.
Menjaga Air, Menjaga Hidup
Bersama masyarakat, Desa Pelakat membuat langkah-langkah nyata. Mereka bekerjasama dengan Lembaga Pembantu Penjaga Kelestarian Hutan (LPPKH), UPTD Kehutanan, hingga Dinas Kehutanan Kabupaten. Kerja kolaboratif itu melahirkan berbagai program: penghijauan di atas lahan 200 hektare, rehabilitasi daerah aliran sungai, perlindungan sembilan mata air dengan struktur pelindung dan vegetasi.
Mereka bahkan menyusun Peraturan Desa untuk melindungi sumber air. Isinya tegas: siapa pun yang merambah atau mencuri kayu akan dikenai sanksi adat, dikucilkan dari seluruh kegiatan desa, tak diperbolehkan ikut kelompok keamanan maupun gotong royong. “Aturan ini efektif. Warga jadi segan, lebih patuh,” kata Kohapa.
Desa ini juga membangun empat kolam retensi untuk menampung cadangan air, mengembangkan kebun kopi robusta yang kini jadi komoditas andalan, hingga mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 35 kilowatt. Energi bersih itu hadir berkat kerja sama LAZ Al Azhar Peduli Umat dan CSR PT Bukit Asam Tbk.
Keberhasilan menjaga hutan dan air memberi dampak berlapis. Sawah kembali panen, kopi robusta menembus pasar luar daerah, dan ekonomi warga berputar. Rumah Kopi Pelakat berdiri, menjadi pusat olahan dan wisata edukasi. Ibu-ibu mengembangkan kerajinan dari sampah, anak muda belajar mengelola energi.
Di Desa Pelakat, air tidak hanya menghidupi sawah. Ia menghidupi listrik, usaha, hingga semangat gotong royong.
“Semua ini berawal dari kesadaran kami menjaga mata air,” ujar Kohapa, yang sempat lengser dari kursi kepala desa lalu terpilih kembali pada 2019. Ia kini kembali memimpin, sekaligus tetap mengawal kelompok Datuk Siring.
Pengakuan dari Negeri
Kerja keras itu tak sia-sia. Tahun 2020, Desa Pelakat diganjar penghargaan Desa Terbaik Dalam Inovasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim se-Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Sekjen KLHK Bambang Hendroyono. Desa kecil di ketinggian 1.420 meter di atas permukaan laut ini pun jadi contoh bagaimana komunitas lokal mampu menjaga lingkungan dengan kearifan, aturan adat, dan kolaborasi.
“Kami ikut Program Kampung Iklim sejak 2015. Syaratnya, kami juga harus melibatkan 10 dusun sekitar untuk peduli pada hutan, air, dan pertanian,” kata Kohapa.
Hari ini, Desa Pelakat dihuni sekitar 210 kepala keluarga. Mereka hidup di antara hamparan sawah, kebun kopi, dan rimba yang dijaga ketat. Bagi mereka, air bukan sekadar kebutuhan, melainkan warisan yang harus dipelihara.
Mereka tahu benar arti kalimat: apabila kawasan tangkapan air berfungsi dengan baik, maka ancaman tanah longsor dan banjir dapat diatasi serta mata air tetap terjaga. Dari situlah keberlanjutan hidup desa bergantung.
Kohapa tersenyum saat ditanya apa yang paling ia syukuri dari semua ini. “Air kembali mengalir. Itu saja sudah cukup. Dengan air, semua bisa hidup.”
Di desa kecil ini, air adalah denyut kehidupan. Ia lahir dari akar-akar hutan yang dijaga, mengalir ke sawah, berputar di turbin mikrohidro, dan kembali ke sungai, tanpa pernah lelah.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan di Pejuang Iklim dengan judul Kohapa, Penjaga Sumber Air Talang Pelakat





Tinggalkan komentar