Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Hutan di lereng Bukit Barisan, Bengkulu, kian tergerus. Sebagian berganti menjadi perkebunan sawit, tambang dan sebagian lagi dibiarkan terbuka akibat aktivitas alat berat. Konversi ini meninggalkan tanah rentan longsor dan menurunkan keragaman hayati—kicau burung terdengar makin jarang.

“Dulu semua hijau,” ujar Jalaluddin, petani kopi di Kepahiang. “Sekarang tiap musim hujan kami was-was, air bah bisa turun tiba-tiba.”

Kekhawatiran Jalaluddin bukan tanpa alasan. Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI mencatat, pada 1990, tutupan hutan Bengkulu masih mencapai 1.009.209 hektar, setara 50,4 persen dari luas daratan provinsi ini. Namun kini, tinggal 685.762 hektar saja. Artinya, dalam 25 tahun terakhir, Bengkulu kehilangan 323.447 hektar hutan, sekitar 36 hektar hilang tiap hari, atau 1,5 hektar raib setiap jam.

Luka Hijau yang Terbuka

Bagi Rudi Syaf, Direktur WARSI, angka itu bukan sekadar statistik. “Itu sama saja seperti kita melihat hutan ditebang satu lapangan bola setiap setengah jam,” ujarnya dalam sebuah seminar di Universitas Bengkulu, awal Oktober 2019 lalu.

Ia menyebut, penyebab utama kerusakan hutan adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, hingga tambang. “Kesadaran kita masih lemah. Hutan dilihat sebatas kayu dan lahan, padahal ia rumah kehidupan.”

Rudi mengingat puncak kebakaran hutan 2016, ketika 1.000 hektar lebih lahan terbakar. Api melahap ranting kering, satwa liar melarikan diri. Asap pekat menutup langit, menyisakan lahan gosong dan udara sesak. “Kalau hutan di perbukitan habis, banjir dan longsor hanya menunggu waktu. Seperti April 2019 lalu, kita menyaksikan rumah hanyut, sawah terkubur lumpur.”

Kehilangan hutan membawa dampak berlapis: konflik tenurial, marginalisasi komunitas adat, satwa keluar hutan mencari makan lalu berkonflik dengan manusia, keragaman hayati lenyap, krisis pangan dan air bersih. “Hutan yang rusak adalah undangan bagi bencana,” kata Rudi.

Alih fungsi hutan akan berdampak juga pada krisis sumber pangan dan sumber air. Foto: KKI Warsi

Peta yang Menyimpang

Kerusakan itu sejatinya bisa dibatasi lewat tata ruang. Iskandar, dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, menegaskan pentingnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sebagai penuntun pembangunan. “RTRW itu bukan bagi-bagi kue lahan, tapi pagar agar bencana tak datang,” katanya.

Namun kenyataan di lapangan paradoks. RTRWP kerap tidak konsisten, bahkan disalahgunakan. “Status kepemilikan kabur, batas wilayah tumpang tindih, izin tambang dan kebun masuk kawasan hutan. RTRWP belum jadi perisai, malah sering jadi celah.”

RTRWP, kata Iskandar, harus dievaluasi, direvisi, tapi bukan berarti dilegalkan pelanggarannya. “Perubahan RTRW memang dimungkinkan tiap lima tahun, tapi bukan untuk pemutihan. Kalau ada penyimpangan, itu pelanggaran hukum. Harus ada sanksi.”

Ia mengusulkan inventarisasi ulang kondisi hutan, percepatan pemetaan batas, penguatan aparat hukum, hingga pembentukan lembaga khusus pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. “Tanpa itu, revisi hanya jadi formalitas.”

Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Foto: Ist

Surat ke Jakarta

Awal 2019, Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah mengirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Isinya: usulan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 53 ribu hektar lebih. Empat kabupaten mendukung, dari Mukomuko hingga Seluma.

Ada kawasan cagar alam yang diusulkan menjadi taman wisata alam, taman buru menjadi taman wisata, hutan lindung dialihfungsikan, hingga hutan produksi dikonversi. Kepala Dinas LHK Bengkulu, Sorjum Ahyar, berdalih perubahan ini untuk memenuhi tuntutan pembangunan dan aspirasi daerah. “Kami ingin optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan secara berkelanjutan,” katanya.

Namun bagi aktivis lingkungan, usulan ini bagaikan memberi pisau kepada tangan yang sedang melukai. Mereka khawatir revisi justru membuka jalan legal bagi deforestasi. “Kita harus hati-hati. Jangan sampai hutan yang tersisa makin menyempit atas nama pembangunan,” kata seorang aktivis Kanopi Bengkulu.

Dampak nyata dari penggundulan hutan sudah berkali-kali menyapa warga Bengkulu. Longsor di Lebong, banjir bandang di Seluma, dan sawah terendam di Kepahiang. Topografi Bengkulu yang berupa perbukitan dan lembah membuat kerusakan hutan langsung berbalik jadi malapetaka.

Di Teluk Sepang, warga nelayan bahkan merasakan laut berubah. Limbah industri dan hilangnya hutan mangrove membuat pantai lebih rapuh menghadapi abrasi. “Dulu laut memberi hidup, sekarang kami khawatir tiap gelombang besar datang,” kata seorang nelayan.

Suara dari Hutan yang Hilang

Konflik dengan satwa liar pun meningkat. Harimau sumatra, gajah, dan beruang madu kerap masuk kebun warga. Bagi komunitas adat Rejang dan Serawai, hutan bukan hanya sumber pangan, tapi ruang spiritual. Hilangnya hutan berarti hilangnya identitas.

Di sebuah dusun di Bengkulu Utara, seorang tetua adat bercerita lirih, “Dulu kami masuk hutan untuk berdoa, mencari obat, mencari rotan. Sekarang, anak cucu kami hanya tahu hutan dari cerita.”

Pemerintah daerah menegaskan revisi RTRWP akan melalui kajian terpadu. Namun, di balik jargon “berkelanjutan”, bayang bisnis perkebunan dan tambang sulit diabaikan.

Bagi akademisi dan pegiat lingkungan, pertanyaan kuncinya sederhana: apakah revisi benar-benar untuk masyarakat, atau untuk melapangkan jalan investor?

Di sisi lain, masyarakat desa butuh kepastian. Mereka ingin aman dari banjir, ingin tanahnya subur, ingin anak cucunya punya air bersih. “Kami tidak anti pembangunan,” kata Jalaluddin, petani kopi tadi. “Tapi jangan kami dijadikan korban.”

Hutan Bengkulu kini bagaikan kain tua yang terus disobek. Setiap hektar yang hilang, setiap batang yang tumbang, adalah hilangnya benteng bagi kehidupan.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

Tinggalkan komentar

Sedang Tren