Bahan bakar Sustainable Aviation Fuel (SAF). Dok PPN

Bayangkan pada 2050 nanti, langit dunia menjadi lebih bersih. Industri penerbangan global menargetkan Net Zero Emission (NZE) dengan memangkas emisi hingga 11,5 gigaton CO₂. Salah satu kuncinya: mengganti avtur berbasis fosil dengan bahan bakar terbarukan yang disebut Sustainable Aviation Fuel (SAF).

“SAF sendiri diprediksi akan mampu menurunkan emisi CO₂ sekitar 718 juta ton pada 2050. Saat itu kebutuhan SAF secara global bisa mencapai 449 miliar liter per tahun,” jelas Arif Rahman, peneliti Program Postdoc BRIN 2023–2025, dalam Workshop Sustainable Used Cooking Oil Supply Chain for SAF di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Rabu (15/4).

Peta jalan Indonesia

Menurut Arif, Indonesia tidak tinggal diam. Pemerintah telah menyusun peta jalan SAF dengan tiga tujuan utama. Pertama, dekarbonisasi aviasi, agar target pengurangan emisi nasional dan global tercapai. Kedua, kedaulatan energi, dengan memanfaatkan bahan baku domestik untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar penerbangan. Ketiga, penciptaan nilai ekonomi, melalui hilirisasi bahan baku, penjualan SAF untuk pasar ekspor maupun domestik, serta menarik investasi baru.

Namun, Arif menekankan tantangannya. Saat ini, produksi SAF di Indonesia masih mengandalkan jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA) dengan bahan baku Palm Kernel Oil (PKO) yang dinilai belum sepenuhnya ramah lingkungan.

“Karena itu, riset terhadap berbagai bahan baku baru harus terus dilakukan,” katanya.

Foto: Getty Images/iStockphoto/itsarasak thithuekthak

Dari jelantah ke langit hijau

Salah satu opsi menjanjikan datang dari limbah sehari-hari: minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) dan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD). Keduanya bisa diolah sebagai bahan baku HEFA generasi berikutnya.

“Produksi SAF berbasis limbah ini penting karena bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi ketergantungan pada fosil, sekaligus mendorong ekonomi sirkular,” ujar Arif.

Untuk memastikan keberlanjutan, Arif menekankan pentingnya pendekatan Life Cycle Assessment (LCA), metode analisis yang menilai dampak lingkungan dari sebuah produk mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga pembuangan akhir.

“LCA memberi dasar ilmiah untuk kebijakan, investasi, dan inovasi teknologi. Dengan begitu, kita bisa menentukan jalur produksi SAF yang paling berkelanjutan,” paparnya.

Tantangan dan peluang

Meski menjanjikan, LCA dalam produksi SAF juga punya tantangan: keterbatasan data akurat, kompleksitas rantai pasok, biaya tinggi, hingga belum adanya standar regulasi yang seragam. Namun, Arif yakin manfaatnya jauh lebih besar.

“LCA membantu mengidentifikasi area paling krusial untuk pengurangan dampak lingkungan. Dengan integrasi LCA, industri penerbangan bisa benar-benar bergerak menuju masa depan yang ramah lingkungan,” tegasnya.

Upaya ini sejalan dengan ambisi global. Jika berjalan konsisten, SAF bukan hanya sekadar bahan bakar alternatif, tapi simbol transformasi industri penerbangan menuju masa depan rendah karbon.

Bagi Indonesia, tantangannya jelas: mempercepat riset, memperkuat rantai pasok bahan baku, dan memastikan kebijakan berpihak pada energi terbarukan. Dari minyak jelantah di dapur rumah tangga hingga pesawat komersial di langit, perjalanan SAF bisa jadi kisah nyata transisi energi yang berpijak dari bawah.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren