Mangrove di pantai Kota Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Baca bagian 1: Ketika Bumi Bengkulu Berguncang: Jejak Panjang Gempa Pantai Barat Sumatera

Baca bagian 2: Jika Tsunami Menerjang Bengkulu: Tinggi Gelombang dan Waktu Evakuasi

Regen Rais tak pernah lupa malam ketika gelombang besar menghantam pesisir Teluk Sepang. Angin kencang datang lebih dulu, membawa bau asin yang menusuk hidung. Rumah-rumah nelayan di bibir pantai berderak diterjang air laut. Warga berlari terburu-buru ke arah bukit, meninggalkan perahu, ternak, dan harta seadanya. Di tengah kekacauan itu, Regen berdiri terpaku. Ia sadar, tanpa mangrove, Bengkulu tak punya penyangga.

Sejak malam itu, pikirannya terus dihantui satu keyakinan: barisan pohon bakau yang dulu melingkari pantai adalah benteng alami yang kini telah hilang. “Kalau sabuk hijau masih ada, gelombang sebesar itu tidak akan seganas kemarin,” ujarnya. Dari situlah ia mulai menanam bakau, pohon demi pohon, berharap benteng yang koyak bisa terajut kembali.

Gempa dan tsunami jadi ancaman utama di Provinsi Bengkulu. Foto: Ist

Ancaman di Depan Mata

Bengkulu memang kota yang terus hidup dalam bayang-bayang bencana. Ia berdiri di hadapan Samudra Hindia, tepat di depan jalur pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Pergerakan dua raksasa bumi itu kerap memicu gempa besar. Dalam sejarah, tsunami pernah menghantam wilayah ini, pada 1797 dan 1833. Gelombang setinggi belasan meter meluluhlantakkan perkampungan pesisir, meninggalkan jejak luka yang tercatat dalam naskah Belanda dan kisah turun-temurun.

Kini, dengan permukiman yang jauh lebih padat, risiko itu makin besar. “Bengkulu sangat dekat dengan sumber gempa. Waktu penjalaran tsunami ke darat bisa sangat singkat,” ujar Eddy Z. Gaffar, peneliti Puslit Geoteknologi LIPI. Ia mengingatkan, sabuk hijau berupa hutan mangrove adalah peredam yang paling efektif. “Akar-akar mangrove mampu memecah gelombang dan menyelamatkan banyak nyawa.”

Pohon cemara laut dan mangrove semakin tipis di Provinsi Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Hilangnya Benteng Alami

Tapi benteng itu kian menipis. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu menyebut, total mangrove provinsi ini tinggal 1.904 hektare. Kota Bengkulu, yang pesisirnya padat permukiman, hanya menyisakan 214,62 hektare. Padahal, dua dekade lalu, luasnya masih ribuan hektare.

Regen masih ingat, pada awal 2000-an, Taman Wisata Alam Pantai Panjang, Teluk Sepang, hingga Kelurahan Kandang di Kecamatan Kampung Melayu tercatat memiliki seribu hektare mangrove. “Tahun 2007 tinggal setengahnya. Lalu pada 2011, hanya 193 hektare yang masih sehat,” ujarnya.

Laju penyusutan itu jelas. Awalnya, masyarakat menebang mangrove untuk kayu bakar dan arang. Lalu lahan dibuka untuk tambak dan sawit. Tahun 2017, perusakan massal terjadi di Pulau Baai. Sepuluh hektare mangrove dibabat demi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. “Bukan sekadar hilangnya pohon. Kami kehilangan benteng penahan gelombang,” kata Regen.

Buku Sebaran Mangrove Kritis Indonesia terbitan Kemenko Kemaritiman dan KLHK tahun 2018 menempatkan Bengkulu sebagai daerah dengan kerusakan mangrove memprihatinkan. Dari potensi 4.393 hektare mangrove baik, sebagian besar kini kritis.

Kondisi terparah ada di Kota Bengkulu dan Seluma. Di Kampung Melayu, misalnya, mangrove kritis mencapai 194 hektare, baik di dalam maupun luar kawasan konservasi. Kabupaten Seluma mencatat delapan titik dengan kerusakan parah, dari Air Periukan hingga Talo Kecil. Hanya Bengkulu Utara yang relatif aman, dengan 1.900 hektare mangrove tanpa catatan kritis.

David Gusman, Pejabat Pengawas Lingkungan DLHK Bengkulu, mengakui persoalan itu. “Hutan mangrove di Bengkulu memang rusak. Rehabilitasi sedang dilakukan di sejumlah tempat,” katanya. Ia menyebut tahun depan ada program pemulihan di Kota Bengkulu dan Seluma.

Namun bagi Regen, rehabilitasi di atas kertas belum menjawab kebutuhan nyata. “Zona merah seperti Teluk Sepang seharusnya jadi prioritas mitigasi,” katanya. Di kawasan itu, ratusan rumah berdiri rapat tak jauh dari laut. Tanpa sabuk hijau, setiap ombak besar bisa jadi malapetaka.

Sekitar 10 hektar mangrove dibabat untuk pembangunan PLTU Teluk Sepang, Agustus 2017. Foto: Koalisi Langit Biru

Perlawanan dari Akar Rumput

Maka komunitas warga turun tangan. Sejak 2011, Komunitas Mangrove Bengkulu rutin menanam pohon. Mereka menggandeng siswa sekolah, mahasiswa pencinta alam, hingga kelompok nelayan. Aksi kecil itu perlahan menorehkan hasil: empat hektare tegakan baru kini berdiri. Lokasinya di TWA Pantai Panjang Pulau Baai (dua lokasi, total dua hektare), Pondok Besi dan Bajak (satu hektare), serta Sungai Hitam (satu hektare).

“Setiap batang yang tumbuh, kami anggap sebagai penyelamat,” ujar Regen. Ia sering mengajak warga melihat perbedaan: kawasan dengan mangrove jauh lebih tahan ketika diterpa ombak, tak mudah tergerus. Selain benteng ekologis, mangrove juga menyimpan manfaat ekonomi. “Di akar-akarnya, ikan, kepiting, udang bisa hidup. Burung-burung pun bersarang. Dan yang paling penting, mereka menyerap karbon.”

Namun perjuangan warga sering berhadapan dengan proyek besar. Ekspansi permukiman, industri, dan infrastruktur masih terus menggerus kawasan pesisir. Eddy Z. Gaffar menekankan pentingnya perencanaan tata ruang berbasis mitigasi. “Pesisir Bengkulu relatif kosong selain permukiman. Itu bisa dimanfaatkan untuk menanam mangrove sebagai pemecah gelombang,” ujarnya.

Sayangnya, benteng itu belum juga benar-benar dipulihkan. “Mangrove hilang, risiko datang,” kata Regen singkat.

Kekhawatiran itu kian beralasan. Gempa besar Bengkulu tahun 2000, 2007, hingga 2022 mengingatkan bahwa kota ini berada di jalur dapur bencana. Setiap kali tanah berguncang, warga di pesisir berlarian, takut gelombang besar datang menyusul.

Bila tsunami benar-benar terjadi, Bengkulu hanya punya waktu beberapa menit untuk evakuasi. Dengan jalur sempit dan rumah rapat, korban bisa berjatuhan lebih banyak daripada dua abad silam.

Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu Riki Rahmansyah saat menanam mangrove di salah satu pulau di Bengkulu. Foto: Dok. Riki Rahmansyah

Harapan yang selalu hidup

Sore merambat pekat di Pantai Panjang. Di tepi lumpur, Regen jongkok, menyentuh akar-akar mangrove muda yang baru ditanam. Daunnya masih mungil, digoyang angin laut. “Kami tak bisa menunggu pemerintah saja,” katanya. “Kalau bukan kita yang menanam, siapa lagi?”

Di kejauhan, anak-anak berlarian di pasir, mengejar ombak kecil yang pecah di kaki mereka. Tawa mereka riuh, seolah tak peduli bahaya yang mungkin datang. Namun Regen tahu, tanpa sabuk hijau, tawa itu bisa hilang sekejap.

Mangrove adalah perisai yang diam-diam bekerja. Ia menahan gelombang, mengikat sedimen, melindungi garis pantai. Ia adalah rumah bagi biota laut, paru-paru yang menyerap karbon, dan benteng terakhir manusia dari amukan samudra.

Kini, di Bengkulu, sabuk hijau itu nyaris hilang. Yang tersisa adalah sisa-sisa, ditambal dengan tangan-tangan kecil warga yang gigih. Pertanyaannya: cukupkah itu untuk menyelamatkan kota ini dari gelombang berikutnya?

Di ufuk barat, langit memerah, seolah berdarah. Ombak pecah berulang kali di garis pantai, mangrove muda bergoyang, berbisik pelan:
“Aku hanya pohon. Tapi tanpaku, kalian tak punya perlindungan.”

***

Ahmad Supardi, SustainergyID

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Sabuk Hijau Peredam Tsunami yang Hilang

Tinggalkan komentar

Sedang Tren