
Tragedi ledakan dan kebakaran akibat praktik minyak ilegal di Musi Banyuasin tak pernah benar-benar berhenti, hanya berganti waktu dan tempat lokasi. Pada 15 Juli lalu, kebakaran minyak perasan (lapon) terjadi di Dusun 6, Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Keluang. Ini mencerminkan praktik minyak rakyat yang selama ini massif dan seakan luput dari perhatian. Dua bulan sebelumnya, sumur meledak dan kebakaran juga terjadi di Dusun Cawang, disusul insiden sama pada April, masih di Desa Tanjung Dalam. Kejadian ini berulang-ulang setiap tahun.
Peristiwa-peristiwa ini tentu bukanlah kecelakaan biasa, melainkan gejala dari absennya tata kelola energi yang adil, aman, dan berpihak. Menurut data Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terdapat lebih dari 12.000 titik sumur ilegal, mayoritas berada di Musi Banyuasin. Jumlah ini mencengangkan, mengingat aktivitas ini dilarang secara hukum. Namun, faktanya sumur ini tetap selalu muncul, bekerja, dan sesekali bikin heboh karena meledak dan terbakar. Kabar razia pun ada, pelaku ditangkap, tetapi hasilnya nyaris jalan di tempat. Satu tutup, dua tumbuh.
Penyebabnya bukan semata lemahnya penegakan hukum. Ini menyangkut ruang hidup masyarakat. Di tengah kemiskinan struktural dan sempitnya peluang ekonomi, minyak rakyat menjadi pilihan rasional, meski penuh resiko. Inilah dilema yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan represif belaka.
Dalam konteks ini, langkah pemerintah membuka ruang legalisasi melalui Permen ESDM No. 14/2025 patut diapresiasi. Regulasi ini memungkinkan kontraktor migas (KKKS) bermitra dengan BUMD untuk membeli minyak dari sumur rakyat. Ini merupakan pengakuan bahwa realitas sosial tak bisa disangkal begitu saja.
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, menyatakan komitmennya menjebatani praktik rakyat dengan standar industri. Menteri ESDM, Bahlil Lahdalia, menambahkan bahwa Pertamina bisa membeli langsung dari masyarakat, asalkan jalurnya sah dan keselamtannya terjamin. Namun, ia menegaskan legalitas hanya akan diberikan pada sumur-sumur yang sudah terlanjur eksis.
Kebijakan ini tentu tidak bebas tantangan. Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (ASPERMIGAS) menyuarakan kekhawatiran tentang keselamatan, kepastian hukum dan kelayakan teknis. Tentu kritik ini harus jadi perhatian, bahwa proses transisi ini harus dilandasi regulasi yang jelas dan dukungan teknis yang kuat. Regulasi ini diharapkan hadir sebagai alat untuk meningkatkan mutu dan keamanan pengelolaan secara menyeluruh.
Peran pemerintah daerah menjadi sangat strategis dalam tahap awal legalisasi. Inventaris titik sumur harus dilakukan menyeluruh, akurat, dan transparan. Pemerintah Provinsi Sumsel sudah menetapkan tenggat 10 Juli 2025 lalu untuk mendata sumur-sumur rakyat yang ada. Namun yang penting dari sekedar tenggat waktu adalah integritas prosesnya.
Guru besar hukum Universitas Sriwijaya, Prof. Pebrian, telah mengingatkan bahwa perizinan rentan disusupi praktik bagi-bagi jatah. Sebab itu, data yang dukumpulkan harus mencakup lebih dari sekedar lokasi dan volume, namun juga siapa pengelolanya, bagaimana sistem keamanannya, dan sejauh mana dampak lingkungannya juga harus menjadi perhatian. Kebijakan yang adil hanya bisa lahir dari data yang lengkap dan jernih.
Kita membutuhkan transisi yang terencana dan bertanggung jawab. Pemerintah perlu peta jalan menuju tata kelola energi rakyat yang berkelanjutan. Pendampingan teknis, pelatihan, keselamatan, hingga penerapan standar lingkungan wajib menjadi bagian dari proses legalisasi. Skema kemitraan antara masyarakat, BUMD, dan KKKS harus berdasarkan pada prinsip, hak, kewajiban, dan perlindungan terhadap seluruh pihak.
Sumur rakyat tak boleh lagi asal-asalan dalam keamanan dan merusak lingkungan, demi jalan pintas kebutuhan ekonomi. Ia harus menjadi bagian dari strategi pemberdayaan desa yang lebih luas. Di saat sama, pemerintah harus membuka peluang menganekaragamkan peluang usaha rakyat, misalnya pertanian lestari, industri rumahan, hingga ekowisata berbasis budaya lokal.
Tak bisa dipungkiri, sumur rakyat adalah realitas sosial yang tak bisa dihapus pemerintah, tapi ia bisa diarahkan dan dijadikan bagian dari solusi.
Musi Banyuasin dan daerah-daerah lain yang menjadi rumah bagi sumur-sumur minyak rakyat tak boleh lagi terus menerus diwarnai ledakan, kebakaran, kerusakan lingkungan dan memakan korban. Sekarang, saatnya pemerintah dan masyarakat sama-sama membangun tata kelola energi yang aman, adil dan berkelanjutan. Harapannya supaya tumbuh bukan bencana, tapi ekonomi yang sehat, merata, dan ramah lingkungan.
***
Ahmad Supardi, Pegiat Komunikasi & Media di SustainergyID.





Tinggalkan komentar