Rahmadoni Saputra dan Shopi Attika Putri, Terbaik I Duta Bahasa Sumatra Selatan 2025. Design: SustainergyID

Bahasa bukan sekadar kumpulan kata. Ia adalah identitas, simbol jati diri, dan rumah besar bagi bangsa Indonesia. Kita ingat betul, sejak 1928 para pemuda menegaskan ikrar “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Dari situlah bahasa menjadi perekat kebangsaan, menjembatani beragam suku, agama, dan budaya dari Sabang sampai Merauke.

Namun, kini kita hidup di abad ke-21 yang penuh dinamika. Era digital dan derasnya arus globalisasi menghadirkan tantangan baru. Media sosial menjelma ruang komunikasi utama, terutama bagi generasi muda. Di sana, bahasa campuran, slang, bahkan kata serapan asing beredar deras. Kadang keren, kadang membingungkan, dan tidak jarang mengikis kemapanan bahasa Indonesia. Jika dibiarkan, lama-lama bisa membuat kita kehilangan arah: siapa diri kita, dan bagaimana kita ingin dikenal dunia.

Tantangan dan peluang di era digital

Fenomena bahasa gaul atau serapan asing memang lumrah di media sosial. Tapi ada sisi lain yang perlu dicermati: kualitas bahasa yang berantakan berpotensi menurunkan mutu pendidikan. Bahasa adalah medium utama penyampai ilmu. Jika bahasa yang digunakan rancu, maka proses belajar pun ikut kabur.

Namun, jangan buru-buru pesimis. Justru era digital membuka peluang besar. Bahasa Indonesia bisa dipromosikan lewat konten kreatif, artikel, video edukasi, siniar, bahkan meme. Kita bisa menjadikan media sosial bukan sekadar ruang hiburan, melainkan panggung kebudayaan. Bayangkan, anak-anak muda Indonesia membuat konten dengan bahasa Indonesia yang baik, dikemas menarik, lalu menyebar hingga ke panggung global. Bukankah itu bentuk diplomasi budaya yang segar?

Peran duta bahasa

Di titik inilah Duta Bahasa hadir. Jangan dibayangkan sekadar ajang seleksi bergengsi dengan samir di leher. Lebih dari itu, mereka adalah representasi anak muda yang mengemban tanggung jawab besar: menjaga kedaulatan bahasa Indonesia.

Di era digital, peran duta bahasa semakin kompleks. Mereka tidak cukup hanya hadir di seminar atau ruang-ruang formal. Duta Bahasa dituntut aktif di media sosial, membangun gerakan kreatif agar bahasa Indonesia digunakan dengan baik, santun, sekaligus luwes. Tutorial singkat berbahasa, konten literasi digital, hingga kampanye kreatif bisa jadi cara yang menyenangkan. Dengan begitu, bahasa Indonesia tidak tampil kaku, melainkan hidup di ruang sehari-hari generasi muda.

Bahasa, pendidikan, dan literasi hijau

Bahasa Indonesia yang berdaulat juga erat kaitannya dengan kualitas pendidikan. Bahasa yang jelas dan runtut membantu siswa memahami ilmu pengetahuan secara lebih efektif. Lebih jauh, bahasa yang terjaga mutunya akan menumbuhkan budaya literasi. Literasi bukan hanya soal membaca buku atau menulis artikel, tapi juga berpikir kritis, peduli lingkungan, dan peka terhadap isu sosial.

Di sinilah ada kaitannya dengan isu keberlanjutan. Bahasa yang baik dapat menjadi medium untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan. Misalnya, konten literasi yang membahas perubahan iklim, sampah plastik, atau krisis energi terbarukan akan lebih kuat dampaknya jika disampaikan dengan bahasa Indonesia yang lugas dan mudah dipahami. Dengan begitu, bahasa menjadi alat perubahan sosial yang nyata: menggerakkan masyarakat menuju gaya hidup lebih hijau.

Kita tahu, krisis lingkungan adalah tantangan besar umat manusia. Jika generasi muda Indonesia bisa menggunakan bahasa nasional untuk mengampanyekan gaya hidup ramah lingkungan, itu artinya bahasa Indonesia bukan hanya berperan dalam pendidikan, tapi juga dalam menjaga bumi. Inilah yang kita sebut sebagai diplomasi hijau berbasis bahasa.

Bahasa dan daya saing global

Bahasa Indonesia memiliki potensi menjadi bahasa internasional, terutama di kawasan Asia Tenggara. Dengan 275 juta penutur dan diaspora yang tersebar, bahasa kita punya daya tawar. Generasi muda bisa memanfaatkan peluang ini lewat diplomasi budaya: film, musik, sastra, dan tentu saja konten digital.

Tapi semua itu membutuhkan pondasi yang kokoh. Kita tidak bisa berdaya di panggung global kalau di rumah sendiri saja enggan menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga. Di sinilah kedaulatan bahasa berperan: menjaga identitas agar tidak larut dalam arus global, sekaligus memberi kita pijakan untuk ikut bersuara dalam percakapan dunia.

Bahasa Indonesia adalah warisan, identitas, sekaligus alat perjuangan. Di era digital, tantangannya nyata, tetapi peluangnya juga terbuka lebar. Duta Bahasa dan generasi muda menjadi garda depan untuk memastikan bahasa Indonesia tetap hidup, kreatif, dan bermartabat.

***

Rahmadoni Saputra dan Shopi Attika Putri, Terbaik I Duta Bahasa Sumatra Selatan 2025.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren