
Baca bagian 1 : Rafflesia di Persimpangan Jalan
Di layar ponsel, pesan singkat itu muncul sore hari. “Bisa saja, saatnya menjaga hutan agar anak cucu kita bisa melihat bunga langka itu.” Kalimat Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, seakan menjadi titik terang dari keresahan panjang para pegiat konservasi. Sepotong teks WhatsApp, tapi gaungnya membentang jauh hingga ke rimba tempat kelopak raksasa Rafflesia arnoldii sesekali merekah.
Di ruang obrolan digital itulah, lampu hijau disematkan: wacana Peraturan Daerah (Perda) Konservasi Rafflesia bisa lahir. Bukan sekadar janji normatif, tapi pintu yang, bila benar-benar terbuka, bisa mengubah nasib puspa langka nasional yang kini kian terhimpit.
Kegelisahan bermula dari kabar yang dibawa Sofian, Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu. Ia menemukan praktik ganjil di jalur wisata bunga terbesar di dunia itu. Bukannya mengajak wisatawan menyusuri hutan, oknum warga justru menghadirkan Rafflesia di pinggir jalan raya. Caranya: memindahkan dari inang asli di hutan ke lokasi strategis, mudah dijangkau, instan, dan menguntungkan.
“Cara itu tak dibenarkan, karena merusak inang, yang merupakan bagian bunga paling penting,” ujar Sofian, akhir Agustus 2019.
Bagi warga awam, tarikan melihat langsung kelopak merah bercorak putih berdiameter 70–90 sentimeter itu mungkin terasa sama. Tapi para peneliti tahu, satu potong inang yang ditebas sama saja mengakhiri hidup lebih dari satu bunga. Rafflesia hanyalah parasit obligat: tanpa batang, akar, dan daun, ia sepenuhnya menggantung pada liana Tetrastigma. Dalam satu inang, bisa tumbuh dua atau lebih bakal bunga. Memindahkan satu, berarti mematikan yang lain.
Lebih dari itu, reproduksinya pun gagal. Benang sari dan putik yang tersembunyi di dasar bunga memerlukan peran serangga, kumbang dan lalat, yang datang karena tertarik bau anyir khas bangkai. Begitu inang dipotong dan bunga cepat layu, aroma tak lagi menyebar. Penyerbukan pun kandas. Siklus kehidupan berhenti.

Ekowisata
Di laboratorium lapangan bernama hutan Bengkulu, Agus Susatya, peneliti Rafflesia dan Amorphophallus dari Universitas Bengkulu, sudah lama mendokumentasikan kenyataan getir ini. Ia percaya, menyelamatkan Rafflesia tak cukup hanya dengan teguran kepada perambah. Dibutuhkan jalan lain: ekowisata berbasis masyarakat.
“Langkah awal, harus rutin sosialisasi. Pentingnya Rafflesia, bagaimana menjaganya, apa saja yang merusak, serta dampak ekologi dan ekonomi bagi masyarakat,” kata Agus.
Dalam kacamata Agus, ketika masyarakat menjadi penjaga sekaligus penerima manfaat, kepentingan merawat habitat akan tumbuh dari dalam. Mereka tidak lagi melihat hutan sebagai ruang kosong untuk dieksploitasi, tapi ladang pengetahuan dan sumber penghidupan.
Namun ide saja tak cukup. Ia butuh legitimasi. Butuh payung hukum yang kokoh, yang mampu mengikat kerja lintas sektor: peneliti, pemerintah, komunitas, hingga masyarakat adat.
“Perda untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati, meningkatkan fungsi lingkungan hidup, dan tercipta keseimbangan ekosistem,” ujarnya.
Sinyal dukungan pun datang. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu, David Gusman, menyambut gagasan Gubernur. Ia berjanji, pembahasan perda konservasi bisa dimasukkan dalam anggaran tahun berikutnya.
“Tahun depan, bisa saja dimasukkan anggaran pembahasan perda tersebut,” katanya.
Meski begitu, ada catatan penting. David menimbang, bila hanya Rafflesia dan Amorphophallus yang diatur, maka akan muncul desakan serupa dari komunitas satwa lain: harimau, gajah, beruang madu. “Sementara biaya membuat perda itu mahal,” ujarnya. Karena itu, DLHK berencana merumuskan regulasi payung: perda perlindungan flora dan fauna dalam satu wadah.
Perda itu, lanjutnya, akan bersandar pada Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), mengacu pada surat edaran Menteri LHK tahun 2016. Dokumennya akan memuat pemanfaatan sumber daya alam, pencadangan ruang, hingga adaptasi perubahan iklim.
“Semua jenis flora dan fauna, dan sumber daya alam di Bengkulu akan kita atur dalam RPPLH,” tegasnya.
Sebenarnya, Rafflesia sudah lebih dulu punya payung strategi. Pada 2015, Bengkulu mendeklarasikan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rafflesia dan Amorphophallus, yang pertama di Indonesia untuk jenis flora. Disusun bersama LIPI, KLHK, Pemda, dan Dewan Riset Daerah, SRAK berlaku satu dekade, hingga 2025.
Di atas kertas, isinya gemilang: ekowisata berbasis masyarakat, kemitraan multipihak, perlindungan habitat. Namun seperti banyak dokumen strategis lain, tantangan utamanya adalah implementasi. Tanpa instrumen hukum daerah yang tegas, ia mudah terhenti di rak arsip.
Karena itu, ketika Gubernur Rohidin membuka kemungkinan perda konservasi, gema optimisme mengalun. Bagi Sofian dan kawan-kawan KPPL, kesempatan itu tak boleh lewat begitu saja.

Harapan tak pudar
Rafflesia bukan sekadar bunga. Ia simbol rapuhnya keseimbangan ekologis Bengkulu. Kelopaknya yang mekar hanya 5–7 hari, lalu layu, adalah metafora tentang waktu yang singkat, peringatan bahwa kesempatan melindungi alam juga kian sempit. Sekali habitat rusak, generasi mendatang hanya akan mengenalinya lewat foto.
Pesan singkat di layar ponsel gubernur itu kini menjadi janji besar. Akankah benar terwujud sebagai perda yang menjaga puspa langka? Atau sekadar mekar sesaat, lalu gugur tanpa bekas?
Di rimba Bengkulu, bakal bunga masih berdiam di bonggol inang, menunggu giliran mekar. Mereka tak tahu, nasibnya kini bergantung pada selembar aturan yang masih ditimbang-timbang di ruang rapat.
***
Ahmad Supardi, SustanergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan Mongabay Indonesia dengan judul Lampu Hijau Gubernur Bengkulu untuk Perda Konservasi Rafflesia






Tinggalkan komentar