Rafflesia arnoldii ini dipindahkan dari tempat hidup aslinya, lalu dicat. Kejadian ini pada 1 Januari 2017, di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Sofian

Belum sampai lima menit menepi di jalur Liku Sembilan, Bengkulu Tengah, mata langsung tertumbuk pada sebuah papan kayu sederhana bertuliskan: “Rafflesia Mekar, 20 Meter”. Panah merah mengarah ke belukar tipis di tepi jalan. Seorang lelaki berkaos lusuh, wajahnya mengilap oleh peluh, menyambut ramah: “Silakan, Pak, Bu, ada bunga terbesar di dunia, lagi mekar. Dekat saja, tak perlu masuk hutan.”

Di balik sambutan itu tersimpan rahasia yang lebih getir ketimbang harum bisnis wisata dadakan. Bunga yang ditawarkan sebagai tontonan ternyata bukan mekar di habitat aslinya, melainkan sudah dipindahkan paksa dari inangnya di hutan. Cara mudah, cepat, praktis. Namun, di baliknya ancaman serius bagi kelestarian Rafflesia arnoldii, puspa langka kebanggaan Bengkulu.

Sofian, Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu, menghela napas panjang ketika menceritakan praktik ini. “Mereka memotong inang, membawa bunganya ke tepi jalan. Memang memudahkan wisatawan, tapi merusak ekosistemnya. Padahal inang itu bagian paling penting,” ujarnya.

Komunitas Peduli Puspa Langka [KPPL] Bengkulu tengah mengukur diameter bonggol Rafflesia di Cagar Alam Taba Penanjung, Bengkulu Tengah. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Rafflesia bukan bunga biasa. Ia tanpa daun, tanpa batang, tanpa akar. Hidup sepenuhnya menumpang pada liana, yang oleh warga disebut pohon anggur hutan. Dari jaringan inang itulah ia menyerap energi. Pada satu inang bisa tumbuh lebih dari dua calon Rafflesia. Maka, sekali inang dipotong, hilanglah peluang lahirnya generasi baru. “Kerusakan itu bukan hanya pada satu bunga, tapi seluruh regenerasinya,” kata Sofian.

Proses reproduksi Rafflesia amat rapuh. Ia hanya mekar sekitar lima hingga tujuh hari. Selama masa singkat itu, bau busuk khasnya mengundang serangga penyerbuk. Dari situlah benang sari dan putik bertemu. Namun, bila bunga dicabut dari inang, bau yang semestinya menyebar di lantai hutan terhenti. Serangga tak datang, penyerbukan gagal, siklus hidup pun terputus. “Itu sama saja mengakhiri masa depannya,” tambah Sofian.

Kenyataan getir ini saya saksikan bersama KPPL Bengkulu dan KPPL Bengkulu Tengah, ketika menelusuri Cagar Alam Taba Penanjung, Rabu, 27 Agustus 2019. Hanya 50 meter dari badan jalan, hutan lebat mendadak gundul. Bonggol kayu besar jadi saksi bisu perambahan. “Sebagian sudah ditinggalkan, tapi sebagian lain masih terus merambah,” ujar Ibnu Hajar, Ketua KPPL Bengkulu Tengah.

Di lereng curam, kami menemukan bonggol Rafflesia sebesar lengan pria dewasa, menempel diam pada akar inang. Bagi perambah, temuan seperti ini ibarat harta karun. “Kalau ketemu sedang mekar, langsung dipotong, dipindahkan ke pinggir jalan. Mereka pasang tulisan ‘Rafflesia Mekar’ untuk menarik orang lewat, lalu jadi pemandu dengan imbalan,” jelas Ibnu.

Lebih getir lagi, pada Juni 2017, sempat ditemukan Rafflesia yang sudah layu dicat merah segar oleh oknum warga. “Tujuannya supaya kelihatan masih mekar. Biar wisatawan tidak kecewa,” katanya. Sebuah ironi: puspa langka yang diagungkan dunia, diperlakukan bak dekorasi semata.

Petunjuk jalan tempat mekarnya bunga rafflesia. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

Eka Sophian, pengelola Cagar Alam Taba Penanjung dari BKSDA Bengkulu, tak menampik tantangan ini. “Para perambah tetap saja nakal, tak jera. Kami selalu patroli, tapi mereka selalu mencari celah,” ujarnya. Padahal cagar alam seluas 3,7 hektar itu adalah salah satu benteng terakhir habitat Rafflesia.

Namun ancaman bukan hanya dari tangan jahil manusia. Habitat alami Rafflesia juga terjepit oleh perambahan hutan dan pembukaan kebun. Di Bukit Daun, di jalur yang sama, hutan lindung yang mestinya teduh kini bolong-bolong oleh lahan garapan. Semakin sempit ruang hidup, semakin sulit Rafflesia bertahan.

Tampak inang bunga Rafflesia yang dipotong di Hutan Lindung Bukit Daun Register Lima, Bengkulu Tengah. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Pentingnya Perda

Agus Susatya, peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Universitas Bengkulu, menyodorkan jalan keluar. “Salah satu cara paling efektif menjaga Rafflesia adalah ekowisata berbasis masyarakat. Kalau masyarakat merasakan manfaat ekonominya, mereka akan menjaga habitat, bukan merusaknya,” ujarnya. Edukasi harus jadi langkah awal: menanamkan pengetahuan tentang fungsi bunga ini, dampak ekologis, hingga potensi ekonomisnya jika dikelola benar.

Konsep ekowisata ini bukan hal baru, tapi Bengkulu belum sungguh-sungguh menerapkannya. Agus menekankan perlunya regulasi yang kuat. “Pemerintah daerah harus membuat peraturan daerah (perda) konservasi. Itu penting untuk mengikat semua pihak, dari peneliti, aparat hukum, hingga masyarakat lokal,” katanya. Perda akan memberi pijakan hukum dan arah kebijakan untuk melindungi puspa langka ini.

Rafflesia arnoldii, yang dikenal dunia sebagai bunga terbesar, seakan berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia menjadi daya tarik wisata dan simbol identitas Bengkulu. Di sisi lain, keserakahan manusia menjeratnya dalam ancaman kepunahan.

Bunga ini sejatinya bukan sekadar pesona eksotik. Ia penanda kesehatan hutan, bagian dari jaringan ekosistem yang rumit. Hilangnya Rafflesia berarti hilangnya satu simpul penting kehidupan. Agus mengingatkan: “Konservasi Rafflesia itu bukan hanya menyelamatkan bunga, tapi menjaga keseimbangan ekosistem.”

Senja mulai turun di jalur Liku Sembilan. Dari kejauhan, terdengar deru kendaraan yang melintasi kelok tajam. Di pinggir jalan, papan sederhana bertuliskan “Rafflesia Mekar” berdiri miring, sebagian catnya luntur diguyur hujan. Di balik papan itu, hutan yang terpotong-potong masih berusaha bertahan. Dan di kedalaman rimba, mungkin ada bonggol kecil yang sedang menunggu giliran mekar, entah untuk kagum manusia, atau justru menjadi korban berikutnya.

Baca bagian 2: Rafflesia Menunggu Payung Hukum

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan Mongabay Indonesia dengan judul Perlindungan Rafflesia dan Habitatnya Perlu Aturan Tegas

Tinggalkan komentar

Sedang Tren