Batua, meski kaki kanan depannya diamputasi tetap buas. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

Hari itu, 4 Juli 2019, ruang perawatan di Taman Satwa Lembah Hijau, Lampung, dipenuhi ketegangan. Di atas meja operasi, seekor harimau sumatera jantan tergeletak lemah. Namanya Kyai Batua. Kaki kanan depannya, yang sudah membusuk akibat jerat pemburu, harus diamputasi. Tim medis bekerja selama berjam-jam, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawanya.

Tiga minggu setelahnya, pantauan kamera CCTV memperlihatkan secercah harapan. Batua mulai gesit, luka bekas operasi mengering, dan ia kembali menapak dengan tiga kaki. Pola makannya normal, ayam hidup 6-10 persen dari berat badan, bahkan sesekali diberi kelinci sebagai variasi sekaligus latihan berburu. Namun, di balik semua itu, pertanyaan besar menggantung: mampukah seekor harimau cacat kembali bertahan di rimba raya?

Kilas balik membawa kita pada kenyataan pahit: Batua bukan satu-satunya. Sejak lebih dari satu dekade terakhir, jerat-jerat yang dipasang di hutan Sumatera telah merenggut banyak nyawa harimau, sebagian lainnya dibiarkan hidup dengan tubuh tak utuh.

Batua saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

Jejak Konflik yang Panjang

Catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu–Lampung menunjukkan, dari 2007 hingga 2019, ada 10 harimau yang menjadi korban jerat maupun konflik dengan manusia.

Pada 2007, seekor harimau jantan di perkebunan karet PT Mercu Buana, Ketahun, Bengkulu Utara, menjadi korban pertama yang tercatat. Sama seperti Batua, kakinya harus diamputasi akibat jerat. Setahun kemudian, di Bengkulu Tengah, seekor anak harimau ditemukan dalam kondisi serupa.

Tahun-tahun berikutnya, angka konflik tak menurun. 2010 dan 2011, dua harimau dari Ulu Talo, Kabupaten Seluma, harus dievakuasi ke Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) Lampung. Lalu 2012-2014, empat individu kembali jatuh menjadi korban jerat.

Puncaknya pada 2015, insiden mengerikan terjadi di Seluma. Seekor harimau menerkam petani karet. Ketegangan memuncak, satwa itu dievakuasi ke Taman Safari Indonesia Cisarua. Ironisnya, di kandang baru itu ia justru berkembang biak, menambah ironi bahwa harimau seringkali lebih aman di balik jeruji ketimbang di habitat alaminya.

Dan pada Juli 2019, Batua menjadi nama terbaru dalam daftar panjang itu.

Berbagai jenis dan ukuran jerat yang dipasang pemburu ini ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser. Sasarannya harimau, gajah, dan rusa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Jerat: Senjata Murah yang Mematikan

Bagi pemburu, jerat adalah perangkap sederhana. Bahannya bisa rotan, kawat sling, nilon, hingga kabel baja. Harganya murah, mudah dirakit, dan bisa dipasang tanpa harus menunggu lama di hutan. Tapi bagi satwa liar, jerat adalah teror.

Data patroli SMART Balai Besar TNBBS dan Wildlife Conservation Society (WCS-IP) mencatat 320 temuan jerat sepanjang 2013–2018. Rinciannya: 18 jerat rotan, 20 jerat sling kecil, 25 jerat kabut, 37 jerat burung, 69 jerat sling, 69 jerat stick, dan 82 jerat nilon. Angka ini hanya yang berhasil ditemukan. Jumlah sesungguhnya diyakini lebih banyak.

Jerat yang dipasang untuk babi hutan atau rusa seringkali menjerat satwa besar lain: tapir, beruang madu, bahkan harimau. Luka akibat jerat jarang berakhir ringan. Daging membusuk, tulang hancur, dan amputasi sering jadi pilihan terakhir.

“Pelakunya kebanyakan bukan pemburu harimau. Mereka memasang jerat untuk mangsa lain. Tapi akibatnya sama: harimau bisa cacat bahkan mati,” kata seorang petugas lapangan BKSDA.

Hutan sumatera terancam alih fungsi, dari tambang hingga perkebunan kelapa sawit. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Habitat Terhimpit dan Upaya Konservasi

Namun, jerat bukan satu-satunya ancaman. Sumatera, rumah terakhir harimau sumatera, terus terpotong-potong. Perkebunan sawit, karet, kopi, hingga tambang merebut ruang hidup. Jalan-jalan baru membelah hutan, membuka akses bagi pemburu sekaligus memperparah fragmentasi habitat.

Kepala Balai Besar TNBBS, Agus Wahyudiyono, menyebut daya dukung harimau di taman nasional itu sekitar 66 individu. Kamera jebak bahkan merekam ada harimau cacat yang masih bisa bertahan di hutan. “Artinya, meski cacat, harimau tetap bisa hidup. Tapi jelas kemampuan berburunya menurun,” kata Agus.

Data 2015 menunjukkan kepadatan harimau di TNBBS sekitar 3,1 individu per 100 km². Angka ini lebih tinggi dibanding 2010 yang hanya 2,8. Meski terlihat menjanjikan, ancaman kehilangan habitat membuat optimisme itu rapuh.

Peta penyebaran harimau sumatera memperlihatkan mereka tersebar di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Di utara ada Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh-Sumatera Utara), lalu Bukit Tiga Puluh dan Rimbang Baling (Riau), Kerinci Seblat (Jambi-Bengkulu-Sumbar-Sumsel), Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas (Lampung).

Namun, tak semua habitat memiliki populasi yang cukup. Wulan Pusparini, Senior Species Conservation Specialist WCS, menyebut Way Kambas sebagai daerah paling rawan karena populasinya di bawah ambang batas minimum. Sebaliknya, Kerinci Seblat dan Leuser masih relatif aman untuk kesintasan jangka panjang.

“Ancaman utamanya sekarang deforestasi dan fragmentasi akibat pembangunan jalan serta proyek energi. Kalau tata ruang tidak direvisi dengan mempertimbangkan habitat harimau, ancaman kepunahan makin nyata,” kata Wulan.

Batua adalah cermin sekaligus ujian bagi konservasi. Harimau dengan tiga kaki, apakah masih pantas kembali ke hutan? Dokter hewan Erni Suyanti Musabine menilai perlu ada riset lebih lanjut. “Kalau dilepas, harus dilihat apakah ia masih bisa berburu. Kita perlu tahu tingkat ketahanannya,” kata Yanti.

Rehabilitasi Batua disiapkan dengan cermat: dari pemberian mangsa hidup, pemasangan GPS collar, hingga pemilihan lokasi pelepasliaran dengan ketersediaan pakan yang tinggi dan risiko ancaman rendah. Namun jika pelepasliaran mustahil, opsi lain adalah sanctuary atau konservasi ex-situ, baik untuk edukasi maupun program pengembangbiakan.

Sementara itu, BKSDA Bengkulu–Lampung bersama TNBBS membentuk satgas konflik harimau-manusia. Mereka mendirikan desa mandiri konflik di Pesanguan, Sedayu, Sukaraja, dan Margomulyo. Bahkan, kandang anti-serangan harimau dibangun untuk melindungi ternak warga.

“Konservasi bukan hanya menyelamatkan harimau, tapi juga melindungi masyarakat. Kalau warga merasa aman, konflik bisa ditekan,” kata Suharno, Kepala Tata Usaha BKSDA Bengkulu.

Kilas balik ke tahun-tahun sebelumnya menunjukkan, kasus Batua hanyalah pengulangan. Dari 2007 hingga kini, pola ancaman tak banyak berubah: jerat, kehilangan habitat, dan konflik dengan manusia. Penegakan hukum pun masih lemah. Pada 2018, misalnya, seorang penjerat harimau hanya divonis 3 tahun penjara, subsider 4 bulan. Hukuman yang jauh dari menjerakan.

Batua kini mungkin selamat, meski dengan tiga kaki. Namun, ratusan jerat lain masih tersebar di hutan Sumatera, menunggu mangsa berikutnya.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Jerat yang Membuat Harimau Sumatera Sekarat

Tinggalkan komentar

Sedang Tren