
Suasana di Balai Ria Komperta Plaju siang itu penuh warna. Gelak tawa bersahut-sahutan di antara kain-kain putih yang perlahan berubah menjadi motif jumputan beraneka rupa. Sebanyak 110 perempuan, anggota Persatuan Wanita Patra (PWP) Wilayah PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Plaju, berkumpul untuk merajut kreativitas dengan teknik batik ikat-celup.
Tema kegiatan, “Kreasi Batik Jumputan Teknik Tie Dye dengan Teknologi Pewarnaan Sintetis”, bukan sekadar jargon. Sejak awal, suasana terasa cair. Para peserta lebih dulu mendapat pengarahan mengenai prosedur keselamatan dan evakuasi, sebelum larut dalam keceriaan membuat simpul-simpul kain.
Acil Hermawan, Ketua PWP Wilayah Kilang Plaju, menekankan bahwa kegiatan ini lebih dari sekadar pelatihan teknis. “Kami ingin PWP menjadi wadah pemberdayaan perempuan. Tidak hanya mendampingi, tapi juga tumbuh sebagai individu yang berdaya, kreatif, dan bisa menginspirasi lingkungan sekitarnya,” ujarnya.
Harapan itu diwujudkan melalui kolaborasi dengan usaha lokal Batiq Colet. Siti Badriah, pendirinya, hadir langsung membimbing peserta. Ia bukan hanya mengajarkan teknik, tapi juga bercerita tentang jejak panjang batik jumputan di Palembang—yang sudah berkembang sejak era kolonial Belanda.
“Batik jumputan bukan sekadar kain bermotif. Ia menyimpan kisah sejarah Palembang sebagai pusat tekstil,” tutur Siti. Usaha yang ia rintis dari skala rumahan itu kini merambah pasar luar kota.

Di hadapan para peserta, ia memperagakan metode ikat-celup. Kain diikat sesuai pola, lalu dicelup ke larutan pewarna sintetis. Hasil akhirnya selalu berbeda—unik, personal, dan tak bisa diduplikasi persis. “Itulah keistimewaan batik jumputan,” katanya sambil mendampingi peserta yang sibuk mengikat kainnya masing-masing.
Dari ujung ke ujung ruangan, tangan-tangan perempuan sibuk bekerja. Ada yang serius merancang motif, ada pula yang sesekali bercanda ketika warna tidak keluar seperti yang diharapkan. Namun alih-alih kecewa, momen itu memantik tawa bersama.
Menjelang sore, kain-kain hasil karya digelar spontan. Deretan motif berwarna cerah mengisi ruangan, seakan jadi pameran kecil. Tak ada yang sama, tapi semuanya memancarkan energi serupa: kepercayaan diri dan semangat berkarya.
Bagi sebagian peserta, pelatihan ini bukan hanya pengalaman sekali lewat. Ada yang mulai membayangkan untuk mengembangkan keterampilan ini sebagai usaha mikro. Ada pula yang sekadar bangga bisa melestarikan budaya Palembang melalui karya tangan sendiri.
Dari simpul-simpul kain itu, teranyam pula simpul-simpul kebersamaan. Lebih dari sekadar pelatihan, kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan, pertukaran cerita, dan penegasan peran perempuan dalam menghidupkan budaya sekaligus mendorong kemandirian ekonomi.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar