Pantai Teluk Sepang Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Langit Bengkulu sore itu berwarna jingga, perlahan meredup menuju gelap. Di Kelurahan Teluk Sepang, bocah delapan tahun bernama Finky Septiyani masih asyik bermain di halaman rumah tetangga. Udara lembap khas pesisir laut membawa bau asin yang menempel di kulit. Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya bergetar, pelan, seolah ada sesuatu yang mengaduk perut bumi. Getaran itu makin keras, menghantam tiang rumah, membuat kaca jendela bergetar, genting rumah bergemerincing.

“Gempaaa! Gempaaa!” teriak warga. Suara panik bercampur dengan pekik azan Magrib dari masjid terdekat.

Finky mematung sejenak, lalu tubuhnya ditarik ibunya yang datang tergopoh. Mereka berlari menembus kerumunan, menuju tanah lapang di dekat Teluk Sepang. Suara doa bersahutan dengan tangis anak-anak, sementara sebagian orang berteriak mencari keluarganya. Rumah-rumah retak, tembok sebagian ambruk. Kota pesisir itu berubah seketika menjadi panggung kepanikan.

“Seumur hidup, itu kejadian yang tidak pernah saya lupakan,” kenang Finky, yang kini sudah berusia dua puluh tahun dan menjadi mahasiswi di Bengkulu.

Malam itu, keluarga Finky bersama ratusan warga diungsikan ke Air Sebakul, Bengkulu Tengah, sekitar setengah jam perjalanan dengan truk. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyebut wilayah Teluk Sepang termasuk zona merah rawan gempa dan tsunami. Warga siaga, sebab mereka pernah mengalami gempa besar tujuh tahun sebelumnya, 4 Juni 2000, yang meluluhlantakkan ribuan rumah.

Tower pemantau tsunami di Lapangan Merdeka, Malabero, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Rentetan Gempa: Dari Bengkulu hingga Mentawai

Rabu, 12 September 2007, pukul 18.10 WIB, gempa tektonik magnitudo 8,4 mengguncang pantai barat Sumatera. Episentrum berada di barat laut Lais, Bengkulu, pada kedalaman 10 kilometer. Beberapa menit setelah bumi berguncang, gelombang pasang setinggi satu meter menghantam Pulau Pagai, Mentawai, merendam ratusan rumah.

Kepanikan belum reda, sehari kemudian, Kamis, 13 September, gempa kembali datang, magnitudo 7,8. Sumbernya di Kepulauan Mentawai, 188 kilometer dari Padang. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG, kini BMKG) mengumumkan dua kali peringatan tsunami dalam dua hari berturut-turut.

Di Bengkulu, gempa merusak bangunan di hampir semua kabupaten: Bengkulu Utara, Mukomuko, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, hingga Seluma. Data Bappenas mencatat, korban jiwa di Sumatera Barat dan Bengkulu mencapai 25 orang meninggal, 41 luka berat, dan 51 luka ringan. Ribuan orang kehilangan rumah.

“Waktu itu, banyak warga memilih tidur di luar rumah, di lapangan terbuka, karena takut gempa susulan,” kata Sabar Ardiansyah, peneliti muda BMKG Bengkulu-Kepahiang.

Pantai Panjang Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Segmen yang Pecah

Irwan Meilano, pakar geodesi gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan, gempa Bengkulu 2007 dipicu pecahnya segmen Enggano, menjalar dari utara Enggano hingga Siberut. Segmen ini terakhir kali pecah besar pada 1833 dengan magnitudo 9, lalu retak menjadi pecahan-pecahan kecil.

“12 September itu pecah segmen Bengkulu, lalu 13 September pecah segmen Mentawai,” ujar Irwan.

Ia bersama tim menghitung pergerakan slip bidang sesar melalui data teleseismik. Dimensi gempa Mentawai mencapai 240 x 120 kilometer, dengan rata-rata slip 6,5 meter.

Menurut Irwan, meski dua segmen sudah pecah, masih tersisa patahan sepanjang 200–280 kilometer yang belum melepaskan energi. Potensinya bisa menimbulkan gempa magnitudo 8,0–8,6 di masa depan.

“Dan kita tidak bisa memastikan kapan waktunya,” tegasnya.

Rumah yang hancur ketika gempa di Bengkulu. Foto: Istimewa

Pelajaran dari Bencana

Berbeda dengan 2000, kerusakan akibat gempa 2007 relatif lebih kecil. Gempa 2000 merenggut 94 jiwa dan menghancurkan puluhan ribu rumah. Perbedaan utamanya, kata Sabar, adalah kesigapan warga.

“Warga lebih siaga, karena pengalaman pahit sebelumnya. Banyak yang langsung lari ke lapangan begitu guncangan terjadi,” katanya.

BMKG juga bergerak cepat. Peringatan tsunami diumumkan lima menit setelah gempa. Sistem peringatan dini yang lebih responsif membuat evakuasi berjalan lebih cepat.

Namun, pelajaran lain juga mengemuka: tata ruang dan struktur bangunan di daerah rawan gempa harus lebih ketat. Bengkulu, yang berdiri di atas patahan aktif, memerlukan aturan bangunan tahan gempa yang jelas. Jaringan seismometer dan GPS pemantau gempa juga harus terus diperkuat.

“Yang paling penting, sosialisasi,” ujar Sabar. “Masyarakat harus sadar bahwa mereka hidup di wilayah rawan bencana. Tanpa kesadaran, sistem peringatan dini secanggih apa pun tidak ada gunanya.”

Kenangan yang Tak Hilang

Lebih dari satu dekade berlalu, setiap kali bumi bergetar, meski ringan, kenangan Finky kembali hadir. Suara ibu yang panik, teriakan warga, cahaya lampu minyak di tanah lapang, dan dinginnya malam di pengungsian.

“Kami tidur beralaskan tikar, berdesakan. Tapi itu lebih baik, daripada berada di rumah yang sewaktu-waktu bisa runtuh,” tuturnya.

Kini, sebagai mahasiswa, Finky sering terlibat diskusi soal kebencanaan. Ia percaya, ingatan kolektif warga Bengkulu tentang gempa 2000 dan 2007 adalah modal penting untuk menghadapi bencana di masa depan.

“Kita tidak boleh lupa. Kalau lupa, bisa celaka lagi,” katanya pelan.

Gempa saat guncang Kota Bengkulu. (Dok: BNPB)

Bayangan di Ufuk Barat

Pantai barat Sumatera masih menyimpan energi yang belum terlepas. Dari Simeulue di Aceh, Mentawai dan Siberut di Sumatera Barat, Enggano di Bengkulu, hingga perairan barat Lampung, para ahli gempa sepakat: ancaman itu nyata.

Sejarah mencatat, patahan besar di lempeng Indo-Australia dan Eurasia kerap melepaskan energinya dengan cara yang paling ekstrem: mengguncang bumi, memicu tsunami, menghancurkan peradaban pesisir.

Bengkulu, kota kecil di tepi Samudera Hindia, adalah saksi bisu bahwa bencana bisa datang kapan saja. Masyarakatnya hidup dengan bayangan itu, seperti menunggu gelombang pasang yang tak terlihat.

Di tepi pantai Teluk Sepang, tempat Finky kecil pernah berlari ketakutan, ombak sore kembali mengempas pelan. Garis horizon tampak tenang, seolah tak menyimpan rahasia. Namun di dasar laut, patahan bumi terus bergeser, menunggu saatnya tiba.

Dan ketika bumi kembali bergetar, yang tersisa hanya kesiapan manusia untuk bertahan.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan inu juga diterbitkan Mongabay Indonesia dengan judul Masih Membekas, Gempa Bengkulu 12 Tahun Lalu [Bagian 1]

Tinggalkan komentar

Sedang Tren