Gajah sumatera di TWA Seblat, Bengkulu. Foto: Dodhy/Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu

Bona melangkah pelan, matanya berbinar, belalainya meliuk ke udara. Sesekali, ia mengibas telinga lebar yang kini tampak sehat.

Pekan lalu, di bawah rindang hutan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, suara decitnya membuat rombongan mahasiswa pencinta alam terpingkal.

“Ketika Bona dikenalkan BKSDA Bengkulu, dia meliukkan belalai dan kembangkan telinga,” kenang West Jer Tourindo, peserta Elephant Camp dari IAIN Bengkulu. Wajahnya tak bisa menahan senyum, melihat gajah betina berusia delapan tahun itu lincah berlarian, tak seperti kisah kelam masa lalunya.

Dulu, kondisinya memilukan. Tahun 2011, staf BKSDA menemukannya terkapar di sekitar perkebunan sawit PT Alno. Umurnya baru enam bulan. Ia diduga sudah dua pekan terpisah dari induk, tanpa asupan makanan memadai. Tubuh ringkih itu nyaris mati, sebatang kara di tengah lanskap yang kian berubah. “Sekarang sangat menggemaskan,” kata Tourindo lirih, seakan tak percaya bocah gajah yang dulu renta kini tumbuh remaja penuh energi.

Bentang alam Seblat merupakan habitat alami 70-150 individu gajah sumatera. Foto: Chesa/Mapasta IAIN Bengkulu

Hutan yang Terkurung

TWA Seblat, bentang hutan seluas 7.732 hektar, memang rumah bagi raksasa-raksasa lembut Sumatera. Di hamparan inilah 70–150 individu gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) masih mencoba bertahan.

Namun bentang Seblat yang dulunya terhubung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) kini kian terkepung. Hutan produksi dan perkebunan sawit merajai lanskap. Kawanan gajah terpecah dalam kelompok kecil: Air Teramang–Air Dikit, Teramang–Air Berau, Air Ipuh–Air Teramang, dan kelompok Seblat. Mereka berjalan di lorong-lorong sempit, terhalang blok-blok kebun.

“Kondisi kelompok kecil sangat berisiko terhadap perburuan dan tindakan ilegal,” jelas Ali Akbar, Sekretaris Forum Kolaborasi KEE Gajah Sumatera.

Ia mengingat peristiwa 2015, ketika kelompok gajah liar keluar dari TWA Seblat dan tak pernah kembali. Jalur migrasi mereka terputus kebun. Padahal, kata Ali, secara ekologis TWA Seblat ibarat terminal transit sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

Koridor yang Hilang dan Janji Kolaborasi

Bagi gajah, lorong hijau penghubung antarhutan bukan sekadar jalur lintasan. Itu adalah syarat hidup. Ketika koridor musnah, mereka terjebak di kantong-kantong hutan sempit. Konflik pun meningkat: gajah memasuki kebun, petani panik, dan sering kali peluru jadi penyelesaiannya.

“Penting sekali dibuat koridor berupa kawasan ekosistem esensial,” kata Ali. “Dengan begitu, mereka punya harapan baru di habitatnya, sekaligus mendukung pertumbuhan populasi.”

Donal Hutasoit, Kepala BKSDA Bengkulu, mengamini. Menurutnya, solusi penyelamatan gajah adalah integrasi pengelolaan bentang alam Kerinci Seblat sebagai satu kesatuan habitat. “Tujuan utamanya memelihara habitat untuk keberlangsungan populasi,” ujarnya. Namun kenyataan di lapangan: TWA Seblat kini terisolasi, ibarat pulau hijau yang terkurung kebun.

Harapan itu datang dari Forum Kolaborasi KEE, wadah lintas pihak yang dibentuk lewat SK Gubernur Bengkulu Nomor S.497.DLHK.2017. Di dalamnya ada Dinas LHK Bengkulu, BKSDA, Balai Besar TNKS, Universitas Bengkulu, LSM lingkungan, hingga desa-desa penyangga. “Banyak yang bergabung,” kata David Gusman, pejabat DLHK. “Kita akan menjaga habitat gajah sumatera di Bengkulu.”

Skema kawasan ekosistem esensial (KEE) inilah yang diharapkan bisa memulihkan jalur Bona dan kawanannya. Dari TWA Seblat ke TNKS, melalui HPT Lebong Kandis, HP Air Rami, hingga hutan-hutan sisa yang masih tersambung. Jalur hidup yang bukan hanya untuk gajah, tapi juga harimau sumatera, tapir, beruang madu, hingga pohon-pohon ikonik: rafflesia, bunga bangkai, meranti.

Gajah sumatera menghadapi ancaman hidup berupa perburuan dan rusaknya habitat. Foto: Krimas

Bona, Simbol Harapan

Kini, setiap langkah Bona seolah menjadi simbol perlawanan. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, bertahan dari kematian, dan kini hadir sebagai wajah optimisme. “Dengan memelihara jalur gajah, kita berharap tak ada yang bernasib seperti Bona, bahkan kehilangan habitat,” kata Donal.

Di Elephant Camp, mahasiswa seperti Tourindo belajar langsung arti menjaga rumah bersama. Mereka menyentuh kulit keriput Bona, menatap bola matanya yang bulat, dan mungkin bertanya dalam hati: akankah ia masih punya hutan untuk ditinggali sepuluh tahun mendatang?

Di ujung sore Seblat, suara serangga hutan bertalu. Bona meliukkan belalai, meraih ranting muda, menggenggamnya erat lalu memasukkannya ke mulut. Riak tawa peserta camp pecah sekali lagi. Dalam sekejap, hutan itu terasa masih menyimpan harapan.

***

Ahmad Supardi, SusnainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan oleh Mongabay Indonesia dengan judul Harapan Baru Gajah Sumatera di Bentang Alam Seblat

Tinggalkan komentar

Sedang Tren