
Baca bagian 1: Ketika Bumi Bengkulu Berguncang: Jejak Panjang Gempa Pantai Barat Sumatera
Senja di Pantai Panjang, Bengkulu, selalu indah. Barisan cemara laut berjejer, angin asin membawa aroma samudera, anak-anak berlarian di pantai. Di kejauhan, ombak memecah karang, suaranya berulang seperti detak jantung yang menenangkan. Namun, bagi sebagian warga pesisir, suara debur itu tak pernah sepenuhnya menenangkan. Ada memori lama yang menyelinap setiap kali bumi bergetar: kemungkinan ombak berubah menjadi bencana.
“Kalau gempa besar, jangan tunggu sirene. Lari saja ke tempat tinggi,” kata Arman, nelayan Teluk Sepang, sambil menambal jaring di perahunya. Wajahnya mengeras, mengingat pengalaman belasan tahun lalu.
Rabu, 12 September 2007, tanah di bawah Bengkulu berguncang hebat. Magnitudo 8,4 mengguncang dari barat laut Lais, 105 kilometer dari pesisir. Rumah-rumah retak, warga panik berhamburan. Tak lama kemudian, peringatan tsunami dikeluarkan. Ombak pasang setinggi satu meter memang benar datang, menghantam Pulau Pagai di Mentawai, merendam ratusan rumah. Bengkulu terhindar dari bencana lebih besar, namun ketakutan itu masih membekas hingga kini.

Lempeng yang Terus Bergeser
Sejak lama, pantai barat Sumatera dikenal sebagai daerah paling rawan bencana di Indonesia. Letaknya berada di jalur pertemuan dua raksasa bumi: Lempeng Indo-Australia yang terus menekan ke bawah Eurasia. Gerakan abadi itu melahirkan patahan panjang yang membentang dari Aceh hingga Selat Sunda.
Dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa 2017, deretan megathrust—sesar naik di zona subduksi—tersusun rapih: segmen Aceh-Andaman, Nias-Simeulue, Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai-Pagai, Mentawai, Batu-Mentawai Siberut, Enggano, hingga Sunda Strait. Setiap segmen itu menyimpan energi besar yang bisa dilepas kapan saja.
“Jika salah satu segmen pecah, kekuatannya bisa membangkitkan tsunami,” jelas Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG.

Jejak Ilmuwan dari Data 2007
Untuk memahami ancaman itu, tiga peneliti muda mencoba membaca masa depan lewat data masa lalu. Mereka adalah Dwi Pujiastuti dan Rahmad Aperus dari Universitas Andalas, serta Rachmad Billyanto dari BMKG Padang Panjang.
Mereka meneliti kembali gempa Bengkulu 2007, membuat simulasi dengan perangkat lunak L-2008 dan Travel Time Tsunami (TTT). Dari peta batimetri, kedalaman laut, terlihat perairan Bengkulu tak seragam. Di utara lebih dangkal, ke arah barat makin dalam, hingga mencapai 6.484 meter. “Kedalaman laut inilah yang akan menentukan kecepatan dan tinggi gelombang tsunami,” tulis Dwi dalam prosiding seminar nasional fisika tahun 2016.
Hasil pemodelan menunjukkan: bila gempa magnitudo 8,4 terjadi, gelombang tsunami bisa terbentuk di area seluas 30.478 kilometer persegi. Tinggi maksimum run-up mencapai 8,05 meter di sekitar episenter.
Dari sepuluh lokasi yang disimulasikan—Mukomuko, Ipuh, Seblat, Ketahun, Lais, Kota Bengkulu, Seluma, Mana, Kaur, dan Enggano—wilayah pertama yang terdampak adalah Pulau Enggano, hanya 27 menit setelah gempa. Kota Bengkulu mendapat giliran kurang dari 33 menit kemudian.
Waktu yang Singkat
Hasil penelitian itu menghadirkan kenyataan pahit: jika gempa besar terjadi, masyarakat pesisir hanya punya waktu 30–40 menit untuk menyelamatkan diri. Gelombang setinggi 2–4 meter bisa melanda dalam hitungan menit.
“Ini artinya, evakuasi mandiri mutlak diperlukan,” kata Daryono. BMKG memang memiliki sistem peringatan dini, tapi getaran gempa itu sendiri sudah cukup jadi alarm alami.
Ia menyarankan konsep sederhana: 20-20-20. Jika merasakan gempa lebih dari 20 detik, segeralah evakuasi dalam waktu 20 menit ke lokasi yang minimal 20 meter lebih tinggi dari permukaan laut.
Masalahnya, Bengkulu kini semakin padat. Permukiman, pusat belanja, hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berdiri tak jauh dari garis pantai. Jalur evakuasi masih minim, titik kumpul belum terawat.
“Jangan bangun rumah menempel pantai. Tata ruang berbasis risiko tsunami harus jadi prioritas,” tegas Daryono.

Benteng dari Alam
Selain tata ruang, ada solusi lain yang kerap diabaikan: vegetasi pesisir. Penelitian Eddy Z. Gaffar dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI menegaskan, mangrove bisa menjadi benteng alami. Akar-akar rapatnya mampu meredam energi ombak.
“Kalau mangrove jarang, tidak ada gunanya. Harus rapat dan padat,” kata Eddy.
Pesisir Bengkulu masih memiliki lahan kosong yang bisa ditanami vegetasi pelindung. Mangrove, cemara laut, hingga pohon kelapa bisa berfungsi sebagai sabuk hijau. Namun, sering kali lahan itu justru dialihfungsikan untuk permukiman atau industri.
Bagi nelayan seperti Arman, menjaga laut bukan sekadar soal tangkapan ikan. “Kalau ada hutan mangrove, anak-anak bisa selamat. Ombak tidak langsung menghantam rumah,” katanya lirih.

Bayangan Masa Lalu, Tantangan Masa Depan
Sejarah telah mencatat, pantai barat Sumatera pernah diguncang tsunami besar pada 1833. Catatan Belanda menyebut, gelombang raksasa merendam pesisir Bengkulu dan Padang, merusak pelabuhan, menenggelamkan kapal. Kini, lebih dari 180 tahun berlalu, para peneliti memperingatkan siklus itu bisa berulang. Segmen Mentawai, misalnya, sudah memasuki periode perulangan 175 tahunan.
“Risikonya nyata. Kalau masyarakat tidak sadar, kerugian akan besar,” kata Dwi Pujiastuti.
Warga Bengkulu, dengan segala keterbatasan, terus belajar. Anak-anak sekolah dilatih jalur evakuasi, BPBD memasang papan informasi ketinggian, beberapa desa menggelar simulasi bencana. Namun, di banyak tempat, kesadaran itu masih belum merata.
Di tepi Pantai Panjang, matahari pelan-pelan tenggelam, meninggalkan cahaya oranye di ufuk barat. Ombak terus berkejaran, berulang, membawa rasa damai sekaligus cemas.
Bagi mereka yang hidup di pesisir Bengkulu, setiap desir angin laut menyimpan pertanyaan: kapan ombak akan berubah rupa?
Tsunami bisa datang kapan saja, tanpa peringatan panjang, tanpa kompromi. Hanya kesiapan manusia yang bisa menentukan apakah gelombang itu menjadi sekadar memori, atau malapetaka yang kembali berulang.
Di bawah langit senja, suara ombak terdengar seperti bisikan: ingatlah, bumi selalu bergerak.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID
Tulisan ini juga terbit di Mongabay Indonesia dengan judul Jika Bengkulu Diterjang Tsunami, Begini Pemodelan Tinggi Gelombang dan Waktu Evakuasi [Bagian 2]





Tinggalkan komentar