Sidang di Pengadilan Tata Usaha Negeri [PTUN] Bengkulu pada 31 Juli 2019. Foto: Ahmad Supardi/SustainergyID

Hamidin berjalan pelan keluar dari ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bengkulu. Kepalanya tertunduk, langkahnya berat. Siang itu, Rabu, 31 Juli 2019, wajahnya tak bisa menyembunyikan kecewa. Ruang sidang yang ia harapkan memberi jawaban justru berakhir cepat, dingin, tanpa penjelasan terbuka.

“Kami datang untuk mendengar alasannya,” ujarnya lirih, ditemani puluhan warga Teluk Sepang, mahasiswa Universitas Bengkulu, dan aktivis lingkungan dari Koalisi Langit Biru.

Hari itu adalah sidang kedua. Agendanya mendengarkan jawaban tergugat: Gubernur Bengkulu dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Lembaga Online Single Submission (OSS), terkait izin lingkungan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang milik PT. Tenaga Listrik Bengkulu. Namun yang terjadi hanya pembacaan eksepsi, dengan alasan formal, soal kewenangan pengadilan.

Kuasa hukum OSS, Andi Muhammad Faiz Adni, bersikukuh PTUN Bengkulu tidak berwenang. Menurutnya, karena lembaga OSS berkedudukan di Jakarta, maka PTUN Jakarta yang pantas mengadili. Lagi pula, kata dia, gugatan salah alamat: objek sengketa ditembuskan 2 November 2018, ketika perizinan masih di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Baru setelah 2 Januari 2019, OSS diambil alih BKPM.

“Gugatan salah alamat, bersifat prematur, kabur, dan tidak jelas,” begitu dalihnya.

Namun bagi Koordinator Tim Advokasi Langit Biru, Saman Lating, alasan itu hanya siasat mengulur waktu. “PTUN Bengkulu tetap berwenang. Gubernur Bengkulu sebagai Tergugat I berkedudukan di sini,” tegasnya.

Hamidin, lelaki berperawakan kurus dengan suara datar tapi teguh, mengingat betul bagaimana semua ini berawal.

Warga Teluk Sepang melakukan demo penolakan PLTU Teluk Sepang. Foto: Kanopi Bengkulu

Awal Penolakan

Rabu, 18 Mei 2016. Hamidin menghadiri sosialisasi rencana pembangunan PLTU Teluk Sepang. Ruang pertemuan di kelurahan penuh sesak: pejabat, perwakilan perusahaan, tokoh masyarakat. Di sana, untuk pertama kali ia menyuarakan penolakan.

“Setahu saya PLTU itu kotor terhadap lingkungan. Bagaimana nasib nelayan dan petani kalau ini jadi dibangun?” katanya kala itu.

Sebulan kemudian, 22 Juni 2016, penolakan meluas. Warga bersama aktivis menggelar demo di Kantor Badan Lingkungan Hidup Bengkulu, bertepatan dengan penyusunan kerangka acuan AMDAL PLTU. Sebelum turun ke jalan, mereka menggalang 429 tanda tangan dari 14 RT, suara lantang yang menolak PLTU.

Surat penolakan itu dikirim ke Gubernur Bengkulu, tembusannya bahkan sampai Presiden Joko Widodo.

Perlawanan makin panas saat sidang analisis dampak lingkungan digelar 26 Agustus 2016. Pemerintah dan perusahaan mencoba melunakkan hati warga dengan mengajak sepuluh orang, termasuk Hamidin, studi banding ke Jawa. Namun apa yang dijanjikan sebagai kunjungan teknis berubah jadi tur singkat ke Monas. Alih-alih luluh, penolakan warga justru makin mengeras.

Pada 25 Oktober 2016, saat peletakan batu pertama, warga memblokade jalan. Tiga tahun kemudian, mereka mendirikan Posko Langit Biru, markas perjuangan menolak PLTU.

Yayasan Kanopi Bengkulu, organisasi lingkungan yang aktif mendampingi warga, menyusun laporan tentang penyimpangan dokumen AMDAL PLTU. Direktur Kanopi, Ali Akbar, menyebut ada banyak kejanggalan.

“Dalam dokumen disebut 92 persen warga setuju. Faktanya, sejak awal sudah ada penolakan, lengkap dengan 429 tanda tangan,” ujarnya.

Ketidaksesuaian lain muncul di lapangan: debu beterbangan akibat mobilisasi material, jalan rusak karena truk proyek, sementara dalam AMDAL dijanjikan pemeliharaan rutin.

Bengkulu sendiri berada di wilayah rawan bencana. Namun dalam dokumen, hanya disebut “rawan gempa dan tsunami” tanpa prosedur jelas jika bencana datang. Padahal Teluk Sepang terletak di zona merah tsunami.

Lebih jauh lagi, proyek ini disebut melanggar tata ruang. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 jelas menegaskan kawasan pesisir Kampung Melayu, tempat PLTU berdiri adalah zona rawan bencana. Dalam RTRW Provinsi Bengkulu, lokasi pembangunan PLTU seharusnya di Napal Putih, Bengkulu Utara.

Ali mengingatkan, bahkan surat resmi Kepala Bappeda 3 Mei 2016 tidak mendukung pembangunan PLTU Teluk Sepang. Surat itu justru mendorong pengembangan energi terbarukan di Bengkulu.

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Foto: Istimewa

Suara yang Dihaluskan

Di hadapan hakim, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, melalui kuasa hukumnya Abdusy Syakir, menolak seluruh gugatan warga.

“Bila ada pelanggaran, buktikan. Semua ada kajian sebelum izin lingkungan keluar,” ujarnya.

Bagi pemerintah, gugatan warga telat. Izin keluar 2 November 2018, sementara gugatan baru masuk 20 Juni 2019, melebihi batas waktu enam puluh hari kerja yang ditetapkan undang-undang.

Soal pencemaran udara dan kerusakan lingkungan, pemerintah juga menampik. “PLTU belum beroperasi, jadi tuduhan itu tidak berdasar,” tulis mereka dalam jawaban resmi.

Bagi Hamidin, dalih itu terdengar hambar. Ia hanya melihat fakta di sekitarnya: nelayan mulai resah, tanah warga terancam, udara kian berdebu.

Hamidin (topi merah) duduk di posko Langit Biru Teluk Sepang. Foto: Firmansyah

Hamidin bukan aktivis berpendidikan hukum. Ia hanya ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di kelurahannya. Tetapi sejak 2016, ia mengorbankan waktu dan tenaga untuk menolak PLTU. Bersama Koalisi Langit Biru, ia mengorganisir aksi, menyiapkan dokumen, hingga hadir di ruang-ruang sidang yang membingungkan.

Koalisi ini bukan sekadar kumpulan LSM, tapi payung solidaritas warga pesisir, mahasiswa, nelayan, dan petani. Mereka percaya PLTU akan lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat.

“Belajar dari PLTU lain di Indonesia, banyak warga terserang penyakit pernapasan, lahan pertanian rusak. Kami tidak mau itu terjadi di Teluk Sepang,” kata M.A. Prihatno dari KAHMI Bengkulu.

Di sore yang tenang, Hamidin kerap duduk di tepi pantai Teluk Sepang. Ombak menggulung, udara asin menusuk hidung. Dari kejauhan, ia melihat kapal nelayan kecil kembali dari melaut.

Baginya, bentangan laut itu adalah hidup. Di situlah anak-anak belajar berenang, di situlah nelayan menebar jaring. Sebuah ruang kehidupan yang terancam oleh debu batubara dan cerobong raksasa.

“Kalau PLTU ini jalan, entah apa yang tersisa untuk kami,” katanya pelan.

Langit biru Teluk Sepang yang dulu jadi kebanggaan, kini terasa seperti metafora yang perlahan pudar. Warga menaruh harapan pada pengadilan, meski jalan terjal masih menanti.

Perjuangan belum selesai. Dan bagi Hamidin, melawan bukan semata soal menang atau kalah, melainkan menjaga sepetak tanah, sehampar laut, dan sebidang langit biru agar tetap menjadi milik generasi yang akan datang.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Penolakan PLTU Teluk Sepang Terus Digemakan Warga

Tinggalkan komentar

Sedang Tren