Generasi Energi Bersih (GEN-B) melakukan Pawai Indonesia Bebas Emisi 2050. Foto: Gen-B

Pada peringatan 80 tahun kemerdekaan, Generasi Energi Bersih Indonesia (Gen-B) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pemerintah melalui kanal resmi media sosial mereka. Surat ini bukan sekadar imbauan, melainkan gugatan moral dan politik atas lambannya respons negara terhadap krisis iklim dan ketidakadilan energi.

Dalam surat tersebut, Gen-B menyodorkan empat tuntutan utama: Deklarasi darurat iklim nasional; Pengesahan komitmen iklim yang ambisius dan adil; Penghentian PLTU batu bara secara bertahap; Serta pelibatan formal generasi muda dalam proses transisi energi.

“Ini bukan sekadar masa depan kami, ini hidup kami,” tegas Ilham Maulana, Ketua Gen-B Indonesia, pekan lalu. Ia menilai pemerintah belum menunjukkan keseriusan menghadapi krisis iklim, padahal laporan IPCC menegaskan emisi global harus turun drastis sebelum 2030. “Kalau terus menunda, kita akan kehilangan satu dekade paling penting untuk menyelamatkan bumi,” lanjutnya.

Ilham menambahkan bahwa transisi energi bersih harus dipandang sebagai strategi pembangunan jangka panjang. “Energi terbarukan bukan sekadar solusi teknis, melainkan kesempatan untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan,” ujarnya.

Gen-B menegaskan ketergantungan Indonesia pada energi fosil, terutama batu bara, telah mempercepat kerusakan lingkungan dan memperdalam ketimpangan sosial. Foto: Gen-B

Aktivis lingkungan, Putri Melta dari Trash Ranger Indonesia menilai 80 tahun kemerdekaan adalah momen refleksi besar bangsa. Menurutnya, kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari mentalitas eksploitasi alam yang masih mengakar. “Kita tidak bisa terus menerus membanggakan pembangunan yang mengorbankan kelestarian lingkungan. Kemerdekaan harus dimaknai sebagai keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan keberlanjutan ekologi,” katanya.

Melta juga menyoroti ketidakmerataan akses energi, terutama di wilayah timur Indonesia. “Listrik bukan hanya soal penerangan, tapi soal keadilan sosial. Tanpa energi, masyarakat sulit mengakses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Pemerintah harus mendorong energi terbarukan skala kecil, seperti surya dan mikrohidro, yang sesuai kondisi geografis setempat dan bisa dikelola komunitas lokal,” tambahnya.

Sementara itu, Nurul Andini Yanisa, mahasiswi Telkom University, menegaskan perlunya ruang formal bagi anak muda dalam perumusan kebijakan energi. “Energi berkeadilan berarti bisa diakses oleh semua orang, termasuk daerah terpencil dengan harga terjangkau. Generasi muda sebenarnya punya kesadaran tinggi soal energi bersih, tapi masih jarang dilibatkan langsung. Padahal, kami yang akan paling merasakan dampaknya,” ujarnya.

Dalam surat terbuka itu, Gen-B menegaskan ketergantungan Indonesia pada energi fosil, terutama batu bara, telah mempercepat kerusakan lingkungan dan memperdalam ketimpangan sosial. Mereka mendorong pemerintah segera menyusun peta jalan penghentian PLTU secara transparan, dengan target maksimal 15 tahun ke depan, tanpa intervensi pelobi industri kotor.

Momentum HUT RI ke-80 disebut sebagai titik balik penting. “Sejarah akan mencatat, apakah generasi kami mewarisi bumi yang layak huni, atau reruntuhan akibat kelalaian hari ini,” tulis Gen-B.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren