
Di tengah tantangan krisis lingkungan, penelitian tentang tanah dan air menjadi semakin penting. Salah satunya dilakukan oleh Ali Rahmat, peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Organisasi Riset Kebumian dan Maritim, BRIN. Fokus risetnya adalah bagaimana menjaga kesuburan tanah sekaligus memperbaiki kualitas air.
Salah satu inovasi yang ia kembangkan adalah biochar, arang hayati yang dibuat melalui proses pyrolysis, pembakaran biomassa pada suhu tinggi dengan oksigen terbatas. Biochar berfungsi sebagai pembenah tanah (soil amendment) yang mampu menekan kehilangan unsur hara, menjaga kesuburan tanah, sekaligus menyerap karbon dalam jangka panjang.
“Biochar itu sebenarnya arang atau karbon. Ia mengurangi kehilangan unsur hara di dalam tanah yang biasanya hanyut terbawa hujan melalui erosi atau leaching. Dengan biochar, nutrisi tetap tersedia untuk tanaman,” jelas Ali.
Menjaga Tanah, Menjaga Air
Riset Ali banyak berangkat dari kondisi tanah di daerah dengan kesuburan rendah, seperti Lampung yang didominasi tanah masam dengan pH rendah. Dengan mengkombinasikan biochar, kompos, dan pengapuran, kualitas tanah dapat ditingkatkan sehingga produktivitas lahan marginal bisa terjaga.
Namun manfaat biochar tak berhenti di situ. Material ini juga mampu menyerap polutan di badan air seperti danau dan waduk, serta digunakan dalam teknik sediment capping. Lapisan biochar di dasar perairan berfungsi mengurangi interaksi sedimen dengan badan air, sehingga kualitas air lebih terjaga.
“Sedimen di waduk atau danau sering membawa nutrien berlebih yang bisa memicu bau, warna keruh, atau bahkan ledakan alga. Dengan biochar, interaksi itu bisa ditekan,” terang lulusan S3 Gifu University, Jepang ini.

Riset yang Masih Panjang
Meski potensinya besar, riset biochar ini baru berjalan sekitar 10 persen. Ali menegaskan, butuh dukungan pendanaan dan waktu riset yang panjang agar manfaatnya bisa diterapkan secara luas. Saat ini, ia dan timnya juga terlibat dalam program perbaikan sungai dan danau prioritas nasional, seperti Sungai Citarum, Danau Singkarak, dan Danau Batur.
Selain biochar, Ali juga meneliti pengelolaan sampah organik dengan bantuan black soldier fly (BSF). Dengan metode ini, waktu pengomposan sampah organik bisa dipangkas dari 2–3 bulan menjadi hanya 1–2 minggu. Hasil komposnya bisa digunakan kembali untuk pertanian dan perkebunan.
Menurut Ali, inovasi teknologi saja tidak cukup tanpa kesadaran masyarakat. Masih banyak perilaku membuang sampah sembarangan yang memperparah pencemaran tanah dan air. Karena itu, edukasi publik harus dibarengi dengan penyediaan fasilitas, seperti tempat sampah dan sistem pengelolaan terpadu.
“Edukasi penting, tapi juga harus ada fasilitas. Kita tidak bisa minta masyarakat berubah tanpa memberi sarana yang memadai. Dan tentu saja, aksi nyata harus melibatkan semua pihak, bukan hanya peneliti,” tegasnya.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.






Tinggalkan komentar